Sabtu, 08 Juni 2013

Malaikat Untukku



Nampak bangunan besar itu berdiri kokoh, mirip sebuah benteng. Namun, arstituktur jawa terlihat lewat ukiran kayunya. Mungkin sudah sangat tua, begitu pikirku. Aku berdiri didepannya, dua buah pintu besar menghalangiku untuk melihat isi didalamnya. Pintu besar berkayu jati, ukir-ukiran membelit bagian tepinya, tua nan apik. Gagangnya berbentuk gelang logam sebesar lingkar pahaku.
Kudorong pintunya karna lama tak ada jawaban. Didalam tak ada apapun. Mirip gedung aula pertemuan. Ditengahnya mengantung indah lampu hias kuno. Rantai-rantainya menjulur dengan dop kuning yang berjejer.
Dan ahh… tiba-tiba saja aroma harum menyambarku, merangsang syaraf indra pernciumanku. Harum benar…. Aku menutup kelopak mataku, menikmati aromanya. Sedang hidungku terus mengendus mencari sumbernya. Nyaman sekali, sepertinya aroma ini sudah masuk kedalam otakku, sehingga melumpuhkan fungsinya. Membuat kakiku tak mampu lagi menopang. Tubuhku ambruk, mataku tak kuat lagi terbuka. Aku ingin tidur, aku benar-benar mengantuk. Oooaaamhh…. Aku ingin tidur….




Ada sentuhan ditelapak tanganku. Sebuah suara tertangkap digendang telingaku, memanggil namaku. Aku berusaha keras membuka mataku, tapi berat sekali. Ingin aku melihat siapa orang kurang ajar yang berani menyentuhku. Ingin kutampar wajahnya, kemudian kulabrak sampai ia ketakukan. Sebab… aku tak sudi disentuh oleh orang kurang ajar.
Ya tuhan… aku berteriak didalam hati. Kenapa mataku tak dapat dibuka?, berat sekali rasanya. Tuhan… aku tak ingin tidur untuk selamanya.
Samar-samar kulihat wajah didepanku. Sosok yang selalu kurindu. Yang telah menjadi kerikil penyumbat aliran darah. Aku tersenyum bahagia. Dialah pangeranku, yang telah membangunkan seorang putri tidur. Ohh… pangeranku…. Tanganku kaku, aku ingkar janji. Bagaimana mungkin tanganku menampar pipinya?, sedang aku terlalu sangat mencintainya.
Lama kami saling bertatapan, namun tak juga ada suara yang keluar dari mulut kami. Lama-lama kurasakan ada yang aneh. Sentuhnya yang lembut berubah mengeras. Tubuhnya menekan keras. Sedang ditangan kirinya menggenggam pisau tajam. Aku tak tahu dari mana ia mendapatkannya, tau-tau ujungnya sudah menentuh kulit leherku. Dingin besinya membuat jantungku semakin tak karuan. Aku berontak, tapi ia malah tertawa, seakan puas.
Suara-suara aneh bersahutan. Seperti ada ribuan macam suara, yang aku pun tak tahu asalnya. Suara itu menghardik, mencaci dengan kata-kata tak pantas. Semakin aku berontak, suara  itu semakin kuat saja. Membuat aku benar-benar tak tahan. Bayangan wajahnya berputar mengelilingiku, dengan gerakan cepat berkali-kali. Kepalaku berat, penglihatanku kabur dibuatnya. Aku tak tahan, kelopak mataku kembali menutup. Mungkin… aku tak akan bangun lagi. Aku takut….




Ar-Rahman…. ‘Allamal qur’an…. Khalaqal insan…. ‘Allamahulbayan….
Lantunan suara indah itu berdengung-dengung ditelingaku. Yah… Allah maha peyayang, dialah Ar-Rahman. Ia telah memberikan petunjuk yang jelas, tapi kenapa aku mendustakannya?. Oohhh… betapa bodohnya aku ini. Apakah tuhan mau memaafkanku?. Padahal aku begitu hina, bahkan tak ada orang yang menganggapku hidup. Aku ini sampah, aku sudah tak ada gunanya lagi. Akankah tuhan memaafkanku?.
Ahh… tuhan pasti memaafkanku, diakan Ar-Rahman. Lalu… kenapa aku masih tidur disini?. Apa aku takut, karna mereka semua membenciku?. Sedangkan disini ada Allah yang maha peyanyang. Aku harus bangun, tak peduli orang lain membenciku, atau menganggapku hina.
Aku membuka mataku, terlihat perempuan berjilbab itu sedang mengaji di kursi dekat ranjangku.
“Kenapa tante ada disini?” tanyaku dengan suara yang sangat lemah.
“Alhamdulillah, nak…. Akhirnya kamu sadar juga. Tante takut melihatmu begitu lemah, badanmu biru. Makanya tante bawa kamu kesini”
“Makasih te…”
“Iya, sama-sama. Kamu gak apa-apa kan” tanyanya. Aku menggeleng pelan.
“Te… ajari aku jadi perempuan yang baik” ia tersenyum, meski kutau ada air disudut matanya. Telapak tangannya membelai rambut panjangku.
“Istighfar nak… istighfar…”
“Astaghfirullah…” begitu kataku menirukan ucapannya.
“Ingat, ada Allah nak… Ia telah perlihatkan padamu betapa masih panjangnya jalan yang harus kita tempuh. Jalan panjang penuh liku, kadang bergelombang, kadang enggak. Yang selama ini kamu lihat hanya kabut putih. Cahaya itu telah menyapu kabut putih, lihatlah nak… rasakan.” Kali ini ia berhenti sejenak, smbil menatap mataku yang mulai basah.
“Kamu tahu dari mana cahaya itu?” aku hanya diam menunggu jawabannya. “Cahaya itu berasal dari rasa percayamu kepada Allah. Semakin kamu percaya, maka kamu akan terus ingat dengan jalan panjang itu.” Aku mengangguk-ngangguk.
“Apa kamu masih mau berhenti disini nak?. Hanya karna orang-orang itu menghinamu?. Kamu gak maukan cuma diem disini?. Ayo kita jalan lagi, agar kita dapat capai puncaknya.”
“Tapi… aku memang hina, te…. Akankah tuhan mau memaafkanku”
“Pasti, asalkan… kamu harus berjanji untuk tidak mengulanginya lagi”
“Iya, aku janji. Ya Allah… maafkan aku, aku menyesal….”
Aku terdiam. Semua perasaan yang menyesakkan dada itu memeleh menjadi air mata. Aku memeluknya, kini sayapnya seperti ikut memelukku. Lembut menyentuh kulit. Tangan kami saling menggenggam saat itu, terjulur selang infus diantaranya. Aliran darah kami seakan menyatu, meski tak segolongan.
Terima kasih tuhan… sudah mengirimkan seorang malaikat untukku.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar