Nampak bangunan
besar itu berdiri kokoh, mirip sebuah benteng. Namun, arstituktur jawa terlihat
lewat ukiran kayunya. Mungkin sudah sangat tua, begitu pikirku. Aku berdiri
didepannya, dua buah pintu besar menghalangiku untuk melihat isi didalamnya.
Pintu besar berkayu jati, ukir-ukiran membelit bagian tepinya, tua nan apik.
Gagangnya berbentuk gelang logam sebesar lingkar pahaku.
Kudorong
pintunya karna lama tak ada jawaban. Didalam tak ada apapun. Mirip gedung aula
pertemuan. Ditengahnya mengantung indah lampu hias kuno. Rantai-rantainya
menjulur dengan dop kuning yang berjejer.
Dan ahh…
tiba-tiba saja aroma harum menyambarku, merangsang syaraf indra pernciumanku.
Harum benar…. Aku menutup kelopak mataku, menikmati aromanya. Sedang hidungku
terus mengendus mencari sumbernya. Nyaman sekali, sepertinya aroma ini sudah
masuk kedalam otakku, sehingga melumpuhkan fungsinya. Membuat kakiku tak mampu
lagi menopang. Tubuhku ambruk, mataku tak kuat lagi terbuka. Aku ingin tidur,
aku benar-benar mengantuk. Oooaaamhh…. Aku ingin tidur….
Ada sentuhan ditelapak
tanganku. Sebuah suara tertangkap digendang telingaku, memanggil namaku. Aku
berusaha keras membuka mataku, tapi berat sekali. Ingin aku melihat siapa orang
kurang ajar yang berani menyentuhku. Ingin kutampar wajahnya, kemudian kulabrak
sampai ia ketakukan. Sebab… aku tak sudi disentuh oleh orang kurang ajar.
Ya tuhan… aku
berteriak didalam hati. Kenapa mataku tak dapat dibuka?, berat sekali rasanya.
Tuhan… aku tak ingin tidur untuk selamanya.
Samar-samar
kulihat wajah didepanku. Sosok yang selalu kurindu. Yang telah menjadi kerikil
penyumbat aliran darah. Aku tersenyum bahagia. Dialah pangeranku, yang telah
membangunkan seorang putri tidur. Ohh… pangeranku…. Tanganku kaku, aku ingkar
janji. Bagaimana mungkin tanganku menampar pipinya?, sedang aku terlalu sangat
mencintainya.
Lama kami
saling bertatapan, namun tak juga ada suara yang keluar dari mulut kami. Lama-lama
kurasakan ada yang aneh. Sentuhnya yang lembut berubah mengeras. Tubuhnya
menekan keras. Sedang ditangan kirinya menggenggam pisau tajam. Aku tak tahu
dari mana ia mendapatkannya, tau-tau ujungnya sudah menentuh kulit leherku. Dingin
besinya membuat jantungku semakin tak karuan. Aku berontak, tapi ia malah tertawa,
seakan puas.
Suara-suara
aneh bersahutan. Seperti ada ribuan macam suara, yang aku pun tak tahu asalnya.
Suara itu menghardik, mencaci dengan kata-kata tak pantas. Semakin aku
berontak, suara itu semakin kuat saja. Membuat
aku benar-benar tak tahan. Bayangan wajahnya berputar mengelilingiku, dengan
gerakan cepat berkali-kali. Kepalaku berat, penglihatanku kabur dibuatnya. Aku
tak tahan, kelopak mataku kembali menutup. Mungkin… aku tak akan bangun lagi. Aku
takut….
Ar-Rahman…. ‘Allamal
qur’an…. Khalaqal insan…. ‘Allamahulbayan….
Lantunan suara
indah itu berdengung-dengung ditelingaku. Yah… Allah maha peyayang, dialah
Ar-Rahman. Ia telah memberikan petunjuk yang jelas, tapi kenapa aku mendustakannya?.
Oohhh… betapa bodohnya aku ini. Apakah tuhan mau memaafkanku?. Padahal aku
begitu hina, bahkan tak ada orang yang menganggapku hidup. Aku ini sampah, aku
sudah tak ada gunanya lagi. Akankah tuhan memaafkanku?.
Ahh… tuhan
pasti memaafkanku, diakan Ar-Rahman. Lalu… kenapa aku masih tidur disini?. Apa aku
takut, karna mereka semua membenciku?. Sedangkan disini ada Allah yang maha
peyanyang. Aku harus bangun, tak peduli orang lain membenciku, atau
menganggapku hina.
Aku membuka
mataku, terlihat perempuan berjilbab itu sedang mengaji di kursi dekat
ranjangku.
“Kenapa tante
ada disini?” tanyaku dengan suara yang sangat lemah.
“Alhamdulillah,
nak…. Akhirnya kamu sadar juga. Tante takut melihatmu begitu lemah, badanmu
biru. Makanya tante bawa kamu kesini”
“Makasih te…”
“Iya,
sama-sama. Kamu gak apa-apa kan”
tanyanya. Aku menggeleng pelan.
“Te… ajari aku
jadi perempuan yang baik” ia tersenyum, meski kutau ada air disudut matanya. Telapak
tangannya membelai rambut panjangku.
“Istighfar nak…
istighfar…”
“Astaghfirullah…”
begitu kataku menirukan ucapannya.
“Ingat, ada
Allah nak… Ia telah perlihatkan padamu betapa masih panjangnya jalan yang harus
kita tempuh. Jalan panjang penuh liku, kadang bergelombang, kadang enggak. Yang
selama ini kamu lihat hanya kabut putih. Cahaya itu telah menyapu kabut putih,
lihatlah nak… rasakan.” Kali ini ia berhenti sejenak, smbil menatap mataku yang
mulai basah.
“Kamu tahu dari
mana cahaya itu?” aku hanya diam menunggu jawabannya. “Cahaya itu berasal dari
rasa percayamu kepada Allah. Semakin kamu percaya, maka kamu akan terus ingat dengan
jalan panjang itu.” Aku mengangguk-ngangguk.
“Apa kamu masih
mau berhenti disini nak?. Hanya karna orang-orang itu menghinamu?. Kamu gak
maukan cuma diem disini?. Ayo kita jalan lagi, agar kita dapat capai puncaknya.”
“Tapi… aku
memang hina, te…. Akankah tuhan mau memaafkanku”
“Pasti, asalkan…
kamu harus berjanji untuk tidak mengulanginya lagi”
“Iya, aku janji.
Ya Allah… maafkan aku, aku menyesal….”
Aku terdiam. Semua
perasaan yang menyesakkan dada itu memeleh menjadi air mata. Aku memeluknya,
kini sayapnya seperti ikut memelukku. Lembut menyentuh kulit. Tangan kami
saling menggenggam saat itu, terjulur selang infus diantaranya. Aliran darah
kami seakan menyatu, meski tak segolongan.
Terima kasih
tuhan… sudah mengirimkan seorang malaikat untukku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar