Minggu, 21 April 2013

Berharap Menjadi Lelaki



Kulihat kau disana, sedang asyik menghirup aroma asap dari dalam cangkir.
Tak kulihat sedikitpun raut kelabu dari wajahmu.
Seakan tak pernah terjadi.

Kau memang tak pernah lagi sempat menolehku.
Seperti aku tak pernah tercipta.
Seperti aku tak pernah kau kenal.

Hanya dapat bersandar pada kerasnya dinding kamar.
Berharap dinding itu berubah menjadi sosokmu.

Mataku menerawang.
Terbelalak membentur langit.
Pikirku melayang, seperti layangan ditarik ulur.
Itu dirimu, dengan genangan air di sudut mata.
Bukan air mata penyesalan.
Kau hanya takut mereka menyeretmu kedalam sebuah ruangan berkeliling tiang besi yang dingin.
Kau takut sinarmu akan redup.

Andai saja aku seorang lelaki.
Andai aku punya lengan sebesar lenganmu.
Pasti sudah kutampar kau dari dulu.
Andai aku punya kaki sekuat kakimu.
Takkan kubiarkan kau melangkah seincipun.

Sebab, kaulah buronanku.
Seperti darah segar bagi vampire yang kehausan.
Ingin kugigit dan kuhisap sampai kau tak berdaya.
Atau kuubah jadi kelelawar.

Namun, aku bukanlah lelaki.
Aku perempuan lemah yang bisa saja kaubanting.
Akulah putri kayangan yang kehilangan selendangnya.
Terjebak, tak dapat kembali.
Tak berarti tanpa selendangnya.
Ingin kupinjam sayap burung atau sayap kupu-kupu, tapi tak bisa.
Kau lah pencurinya.
Akan kukejar, dan kucekik lehermu jika kau tak mau.

Akulah perempuan yang berharap menjadi seorang lelaki.

Jumat, 12 April 2013

Cowok dan Rokok Didalam Angkot


Hari itu hari yang panas banget, tepatnya pulang sekolah pukul 2 siang. Matahari sedang bersemangat untuk bersinar. Uuhh… panasnya dahsyat. Sampai-sampai bongkahan es didalam minuman berasa permen karet yang kubawa langsung meleleh terkena sengatnya yang tajam. Begininih apesnya tinggal dikota industri, siang hari sperti terdapat dua matahari saja. Belum masalah asap kendaraan dan pabrik-pabrik, penduduk yang terus bertambah, pohon yang ditebang karna mengganggu jalan, sawah yang diubah jadi perumahan, dan kemaksiatan yang merajalela. Rasanya lengkap sudah deh semua faktor yang membuat kota kecil ini begitu panas, sempit dan menyesakkan.
Okey… back to the story (sok amat sih pakek bahasa inggris segala, hehhe). Jadi… ceritanya waktu itu aku lagi pulang sekolah. Tapi gak lagi di sekolah, melainkan di gerbang depan sekolah. Nah… di depan gerbang itu ada jalan, namanya jalan Pattimura, itu lho… pahlawan yang ada di uang seribu. Di jalan itu ada banyak banget kendaraan yang lewat. Ada motor, mobil, sepeda, becak, truk, angkot, bus, dan sebagainya. Terus… ceritanya aku lagi nungguin salah satu dari berpuluh-puluh, berribu-ribu, bahkan berjuta-juta dari kendaraan yang lewat tersebut. Kira-kira apa yah???. Coba tebak… Hadduhhh… R-I-B-E-T… dari pada tambah ngaco langsung to the point ajah deh. Intinya saat itu aku lagi nungguin angkot (titik).
Setelah menunggu sekitar 7 menitan, akhirnya angkot yang aku tunggu itupun datang juga menghampiriku. Buru-buru deh, aku dan segerombolan teman-temanku menyerbunya. Yahh… sayangnya aku kalah cepat dengan mereka. Angkot tersebut sudah keburu penuh. Sepertinya aku harus menunggu angkot selanjutnya. Akupun menurunkan kakiku dari pijakan angkot dengan perasaan kesal.
“Mbak…” tiba-tiba sebuah suara mengagetkanku, menghentikan langkahku.
“Masih cukup kok mbak. Tenang ajah” katanya sambil mempersilahkanku untuk menduduki tempat duduknya.
“Saya pakek dengkleg ini aja” lanjutnya sambil menarik sebuah kursi kecil.
“Makasih” jawabku kepada seseorang lelaki berpakaian biru-putih tersebut, yang mungkin seumuran denganku.
Angkotpun berjalan, biasanya aku paling suka memperhatikan jendela di depanku. Tapi kali ini tidak, rupanya mataku lebih asyik melirik ke kiri dari pada melihat keramaian di luar sana. Kulihat bibirnya yang tampak komat-kamit tak karuan, seperti sedang mendendangkan sebuah lagu, tapi tak dapat kudengar. Kepalanya mengangguk-ngangguk seakan menikmati. Ahh… tampan sekali wajahnya. Alis hitamnya yang tebal membingkai indah matanya.
“Pak… pertigaan depan ya…” Teriak Nola, teman sekelasku.
Sampai dipertigaan angkot inipun berhenti. Nola bersama gengnya pun turun. Hhh… akhirnya lega. Sekarang tinggal 5 orang yang tersisa didalam angkot, Aku, cowok itu, seorang ibu dan anaknya, kemudian sopir angkot. Angkot tersebut berjalan lagi, aku membetulkan posisi dudukku (ceritanya lagi salting gitooh…). Tangannya kali ini memutar-mutar sebuah kotak. Kotak kecil berwarna merah, dan sepertinya aku kenal dengan kotak itu. Mmm… Oh iya iya aku ingat. Itu kan kotak rokok.Ya ampun ternyata nih anak ngerokok toh… Ganteng-ganteng kok ngerokok.
Aku benci… banget sama rokok. Benci… benci… benci…. Rokok yang membuat aku tak dapat lagi bertemu dengan ayah. Ayah meninggal sejak aku kelas 2 SD. Ayah memang sakit-sakitan dan sering bolak-balik masuk rumah sakit. Dokter bilang ada masalah pada paru-parunya yang menyebabkan dadanya sesak. Sejak muda ayah adalah perokok aktif. Itulah yang membuat paru-parunya menjadi rusak. Makanya ibu slalu mengingatkan kepada anak-anaknya agar tidak merokok. Rupanya nasehat ibu telah kudengarkan dengan baik, sehingga menularkan dan membuatku benci terhadap rokok.
Pernah suatu hari aku berkata pada ibu bahwa aku sangat membenci rokok. Tapi ia justru berkata yang seakan tak membenarkan prinsipku. Begini katanya, “Nak… gak boleh terlalu benci itu. Ibu gak pernah mengajarkan untuk membenci rokok, tapi lebih tepatnya menjauhi. Ayahmu meninggal itu bukan karna rokok. Tapi karna Allah yang menginginkan. Jangan menyalahkan rokok, tidak sepenuhnya rokok itu buruk. Coba kamu lihat kakakmu itu. Kalo gak ada perusahaan rokok, kakakmu gak bakal bisa seperti ini. Sekarang ia sudah bisa mewujudkan cita-citanya, itu karna perusahaan rokok. Ibu juga takut kalo ngliat kakakmu ngeband dan pulang malem gak jelas. Perusahaan rokoklah yang memberikan kakakmu tampungan, sehingga kakakmu bisa berkembang dan ibu gak perlu takut. Terus, kalo gak ada perusahaan rokok ommu bakal makan pakek apa. Tapi sekarang buktinya Mia dan Ima bisa tumbuh gede kan…” begitulah kata ibu, tapi tetap saja itu tak bisa merubah pandanganku terhadap rokok. Sebab… rokok itu pembunuh.
Sopir angkot buru-buru mengerem angkotnya, karna seseorang disamping jalan melambaikan tangan. Sedangkan ia tampak asyik memainkan korek api ditangannya. Uuhhh… tuh kan mau dinyalain. Gak memperhatikan orang lain banget sih. Nanti kalo asepnya ke aku semua gimana, mau kamu tukerin nyawamu buat aku. Pindah deh… Aku bangkit dari tempat dudukku. Untung ajah angkotnya lagi longgar, jadi bisa pindah. Dan e… e… e… sesuatu yang yang tak terduga terjadi, mengejutkanku, terheran-heran aku dibuatnya. Membuatku melongo dengan bibir bulat mirip kue donat sehingga membunyikan huruf O yang panjang (ala… lebay). Ternyata oh ternyata. Cowgan itu anaknya pak sopir angkotnya. Dan lagi-lagi… ter… nyata… dia enggak ngerokok.
Rokok yang tadi dibawanya itu ternyata punya bapaknya. Aku baru tau setelah aku berdiri mau pindah duduk, si pak sopir itu bilang begini sama anaknya. “le… rokok bapak mana?”. Terus tuh anaknya bilang begini “ini pak. Tapi jangan dinyalain disini, nanti ngganggu penumpang yang laen” untuk kalimat yang terakhir dia sedikit mengecilkan volume suaranya, tapi telingaku jelas menangkap suaranya yang berat itu. Pak sopir itu pun menjawab penyataan anaknya dengan anggukan.
Hhu hhu hhuh… nyesel deh telah menilai anak baik itu dengan buruk. Ternyata dia termasuk orang yang memperhatikan kenyamanan orang lain didalam kendaraan umum. Adduhhh… bener-bener merasa bersalah deh, maaf yah… (makanya hati jangan buru-buru nilai orang dong…). Sangking merasa bersalahnya, aku sampek bengong sendiri dengan keadaan setengah duduk, alias dengan posisi pantat belum nempel kursi. Yah… akibatnya ketika angkot mulai berjalan aku jadi terbanting ke samping. Dduuuh… sakit. Begitu sadar ternyata seluruh pasang mata tertuju padaku. Hihhi… jadi malu.

Jumat, 05 April 2013

Gimana Caranya Sakit???



Malem itu saya lagi lagi maen sama adik saya, Fakhri, yang sekarang umurnya menjelang 15 bulan. Waktu itu saya nemuin sepasang boneka tangan di dalam box mainannya. Saya pakek ditangan, eehh… dia malah ketawa, lucu kali ya… Jadi deh saya buat sebuah percakapan antara boneka kelinci(Si Coklat) dengan boneka beruang(Si Merah), yang spontan meluncur dari mulut saya. Saya pikir lumayan lucu juga sih omongan ngawur saya. Jadideh saya tulis kembali didalam blog ini. Mudah-mudahan lumayan lucu yah… kalo gak lucu ya harap dimaklumi, saya kan bukan pelawak.


Si Coklat:  Halo Merah… aku kangen banget deh sama kamu. Kok kamu gak pernah maen sih Merah?. Kenapa?.
Si Merah:  Iya Coklat… aku sakit.
Si Coklat:  Lho… sakit apa merah?.
Si Merah:  Sakit panas, trus pusing sama pilek. Nih… makanya hidungku tambah mancung soalnya ibuku sering narik-narik hidungku pakek tisu, ya abisnya meler terus sih.
Si Coklat:  O… gitu ya merah. Kalo gitu aku mau sakit juga ah… biar hidungku tambah mancung(sambil memegan hidungnya yang pesek)
Si Merah:  Jangan Coklat… nanti kamu bersin-bersin terus lho… kayak gini, hhaaajhhhmm… hhaaajhhmmm…
Si Coklat:  Mm… gitu yah…
Si Merah:  Sakit itu gak enak Coklat… Gak bisa sekolah… gak bisa…..(belom selesai ngomong udah dipotong sama Si Coklat)
Si Coklat:  Iihh… gimana sih merah ini, kan enak kalo gak sekolah. Gak ada tugas… gak ada PR… gak ada ulangan… kan enak banget…
Si Merah:  Terus kalo nanti gak bisa maen gimana?.
Si Coklat:  Ya gak papa. Yang penting kan gak ada PR, jadi bisa nonton TV deh…
Si Merah:  Tapi kan bosen kalo liat TV terus. Kata ibuku, gak baik kalo liat TV terus, nanti mata kita bisa rusak.
Si Coklat:  Ahh… udah deh, aku gak bakal bosen kok kalo udah ngeliat Thomas. Terus aku udah sedia kacamata kok biar mataku gak rusak. Jadi kalo aku ngeliat TV kayak orang yang mau ngelas besi.
Si Merah:  Ada-ada aja kamu Coklat…
Si Coklat:  Lho… beneran, jadi aku boleh sakit kan…
Si Merah:  Terserah kamu deh Coklat. Aku males debat sama kamu. Aku mau pulang aja deh, nanti ibuku nyariin.
Si Coklat:  Tunggu Merah, tolong jawab 1 pertanyaanku dong… pliss… yah… pliss…
Si Merah:  Iya deh… tanya’ apaan sih?.
Si Coklat:  Aku mau tanya, caranya sakit itu gimana sih?.

(GUBRAAKKK…) Si Merah pun  langsung jatuh tak sadarkan diri.
Hehheheh… :)