Senin, 31 Desember 2012

Pangeran Senja



Perlahan, ombak terus menciumi pasir pantai. Hembusan angin membelai lembut rambutku. Aku berjalan di tepi pantai, sendiri di malam indah bertabur bintang. Purnama seakan menertawakan kesendirianku, hingga ku tak sanggup menatap langit yang menganggapku remeh. Aku memang sendiri, di luasnya lautan biru. Apa gunanya aku disini?, jika harus sendiri. Aku duduk diatas hamparan pasir putih. Menikmati angin pantai yang semakin membuatku membeku dalam kesendirian.
“Mengapa kau hanya menunduk nona manis? Lihatlah ke langit yang indah itu, dan yakinkan pada mereka bahwa kau tak lagi sendiri” suara lembut berbisik di telingaku. Aku menoleh, kulihat lelaki pemilik suara itu. Kutatap wajahnya, ia hanya memberikan senyuman berlesung pipitnya yang manis. Mencairkan lagi hatiku yang tadi beku.
“Kenapa kamu disini?” seolah aku tak percaya ia akan datang di malam ini.
“Ai.. aku kesini untuk menemanimu, seperti malam dan bulan. Ingat Ai, bulan tak akan ingkar ikrar pada malam”
“Iyah, aku mengerti. Terima kasih”
“Sama-sama. Kau begitu cantik Ai” ia menyentuh lembut rambutku.
“Sudahlah, jangan terlalu memujiku”
“Aku tak memujimu Ai, ini kenyataan. Kamu memang cantik, seindah bintang”
Aku hanya tersenyum malu mendengar kata-katanya. Wajah putihku kini bersemu kemerahan.
“Lihatlah Ai! Lihat bintang itu” ia menunjuk pada bintang yang bersinar paling terang.
“Bintang itu indah, sinarnya membuat orang berdesah kagum. Bintang itu setia, bintang selalu setia menemani bulan meskipun dilangit gelap, tapi bintang selalu setia. Bintang itu jujur, tak seperti bulan yang hanya memantulkan cahaya matahari. Bintang punya cahayanya sendiri, meski kecil tapi itulah cahayanya. Ai.. meskipun kau tak akan jadi bintang dilangit, tapi aku ingin menjadikanmu bintang di hatiku. Agar dirimu dapat menerangi setiap malamku yang gelap”
Hahhah.. aku tertawa dalam hati. Sungguh, aku tak pernah mendengar kalimat seperti itu dapat mengalir lancar dari bibir seorang lelaki. Rupanya ia sangat pandai membuat hatiku meledak. Dasar!, lelaki kejam!, beraninya kau mencuri hatiku!.
“Sadarlah. Aku tak akan pernah bisa menjadi bintang dihatimu. Aku tak akan dapat menyinarimu, aku tak punya cahaya seperti bintang. Sadarlah! Kau itu hanyalah pangeran mimpiku”
Ia menarik nafas panjang. “Aku sadar aku hanyalah pangeran dalam mimpimu. Tapi sungguh, ini bukan perasaan yang semu, ini nyata Ai!. Apakah kita akan salahkan tuhan yang telah memberi anugrah berupa perasaan cinta ini?. Tolonglah Ai, hargai perasaanku”
“Aku juga mencintaimu, aku hargai perasaanmu. Tapi, aku masih ragu, maafkan aku”
Tetes demi tetes air turun membasahi pipiku. Namun, ini bukanlah air mataku yang menetes, ini hujan!.
“Ai, hujan sudah mulai turun, lebih baik kita pulang. Semoga saja tuhan masih menyisakan waktu untuk dapat kita ukir kembali saat-saat indah ini”
“Baiklah. Aku akan selalu menunggumu disini, pangeran mimpiku”
“Aku berjanji, suatu saat jika tuhan mengizinkan. Aku akan kembali lagi kepadamu Ai. Namun, bukan sebagai pangeran dalam mimpimu. Aku akan datang menjadi pangeran di kehidupan nyatamu”
“Selamat tinggal, tuan putri.. bangunlah! Dan lihat matahari pagi yang sudah mengintip dibalik bukit” kemudian ia menghilang, tanpa jejak.
Tiba-tiba, semuanya gelap. Seakan aku adalah burung tak bersayap yang terbang di langit gelap. Tak ada bulan, tak ada bintang. Mencari titik-titik cahaya yang menghilang begitu saja. Kring... kring... kring... suara keras itu membuat telingku sedikit sakit, semakin lama suaranya semakin keras. Memaksaku untuk membuka mata.

Ternyata hanya mimpi. Andai saja itu kenyataan. Andai saja pangeran itu adalah Fidel.
“Aiko.. matikan jam bekermu! Suaranya membuat gigi ibu semakin sakit” teriak seseorang dari luar kamar. Aku segera mematikan jam itu.
“Tenanglah, sudah aku matikan”
Ahh.. sudahlah, lupakan saja, aku tak ingin terlalu berharap. Aku mau mandi saja, dari pada mikirin mimpi itu. Gak penting!.




25 menit kemudian aku keluar dari kamar mandi. Segarnya.. Aku berdiri didepan cermin. Kuoleskan lotion ke seluruh tubuhku. Kemudian kusisir rambut hitamku yang lurus panjang. Selanjutnya, kupakai seragamku. Kemeja putih berpita besar dibagian kerahnya. Dengan bawahan rok Biru bermotif  kotak-kotak yang panjangnya tak sampai selutut. Kupandangi lagi diriku. Hm.. kurasa sempurna!.
Kring.. kring.. suara itu lagi!. Oh, bukan, pasti ini bukan suara jam bekerku kan?. Beberapa detik aku berpikir. Kurasa aku sedikit telmi akibat mimpi semalam. Yah.. aku tahu!, itu kan suara sepeda Fidel!. Aku tersentak dibuatnya. Kuambil tasku dimeja dan segera berlari keluar. Aku berjalan tak karuan, terjatuh-jatuh, seperti ayam yang baru saja menetas.
“Dipanggil-panggil, gak keluar-keluar” omelnya ketika aku masih sibuk memasang sepatu hitamku.
“Sorry.. habis kukira kamu tukang roti”
“Udah, jangan alasan ajah. Ayo naik!” aku segera naik ditempat duduk belakang sepedanya.
Embun belum mencair sempurna, masih tersisa bekasnya di ujung rerumputan. Sepeda biru itu terus melaju diantara jalan-jalan kecil di Bukit Dee. Tercium segarnya udara Bukit Dee yang masih murni. Disini, masih langka terdengar suara deru mesin. Yang ada hanyalah suara riang anak-anak yang mengejar layang-layang.
Terlihat dari kejauhan megahnya bangunan itu. Bangunan yang disebut-sebut sebagai sekolah favorit di Bukit Dee. Yang hanya dapat dimasuki melalui persaingan tes yang sangat ketat. Aku masih tak percaya ketika pengumuman 2 tahun yang lalu tertempel di papan pengumuman. Aku pikir, tak akan ada namaku disana. Ternyata, aku termasuk 45 anak yang beruntung dari ratusan pendaftar kala itu, termasuk Fidel.
Fidel memarkirkan sepeda birunya di barisan paling depan. Parkiran sepeda ini masih sepi, belum banyak anak yang datang.
“Del, aku mau kekantin dulu ya.. laper. Mau ikut?” begitu kataku setelah turun dari dudukan belakang sepedanya.
“Enggak Ai, makasih. Aku ke kelas duluan kalo gitu”
Dari belakang aku terus memperhatikannya. Sampai ia akhirnya menghilang di ruangan kelas, aku pun berjalan menuju kantin. Disana aku memesan 2 batang coklat dan segelas milkshake blueberry. Setelah menunggu beberapa menit, akhirnya segelas air biru dengan warna putih itupun datang kepadaku. Tak lupa dengan 2 coklat batang yang kupesan. Aku mengucapkan terimakasih dan menyedot isinya.
Kemudian, aku mulai tenggelam, terbawa dalam arus lamunanku.




Entah mengapa aku dapat jatuh pada fidel. Bagaimana mungkin aku dapat mencintai sahabatku sendiri. Ini sangat sulit untuk dapat kujelaskan. Aku tak tahu bagaimana semuanya berawal. Yang aku tahu hanyalah getaran cinta yang sekarang bergetar setiap kali aku dekat dengannya. Namun, ini bukanlah perasaan yang dulu ada sewaktu kami kecil.
Aku ingat ketika aku dan Fidel masih berada di taman kanak-kanak. Saat itu kami sedang bermain di taman. Kemudian Fidel memberikanku sebuah mahkota dari rangkaian bunga. Tangan kecilnya memang begitu terampil merangkai bunga-bunga tersebut. Begitu indah mahkota itu ketika berada diatas kepalaku.
“Ibu.. lihatlah Aiko! Ia begitu cantik dengan mahkota yang aku buat”
“Iya, Aiko tampak begitu cantik, seperti puteri raja” tante kella, tersenyum melihat kami yang bermain gembira.
“Karena Aiko adalah puteri maka aku adalah pangerannya” Kemudian fidel mengajakku berputar-putar seperti sepasang pangeran dan puteri yang sedang berdansa. tampak jelas wajah kepolosan kami saat itu.
Tapi sekarang, semuanya berbeda. Fidel, bukanlah Fidel kecil yang dulu. Dan aku, Aiko, bukanlah Aiko kecil yang dulu.
Aku masih saja bertanya-tanya tentang persasaan ini. Mungkin, karna aku terlalu dekat dengannya. Yah, ibu kami memang sudah bersahabat sebelum mereka menikah. Dan akhirnya mereka menikah, hamil, dan melahirkan kami dalam bulan bersamaan. Tante Kella, ibu fidel, melahirkannya pada tanggal 10 januari melalui operasi caesar. Seminggu kemudian ibuku menyusul dengan melahirkanku melalui persalinan normal. Inilah yang membuat kami dekat sejak kecil. Kami semakin akrab sejak selalu berada di sekolah yang sama, kelas yang sama, dan bahkan tempat duduk yang selalu berdekatan. Kami sudah seperti keluarga, bagai ikatan saudara kembar yang tak dapat dipisahkan.
Bahkan, aku tak dapat menolak ketika ia menawari untuk mengantarku setiap kali berangkat dan pulang sekolah. Jadi jika fidel tidak masuk, kemungkinan besar aku juga tak akan masuk sekolah.
Perhatiannya tak pernah surut untukku. Sungguh aku tak mengerti. Apakah mungkin dia juga mencintaiku? Atau kebaikannya itu hanya karena aku adalah anak dari sahabat ibunya?. Aku bingung, aku masih bingung.
Teeett.. Suara bunyi bel membuyarkan lamunanku. Semuanya sudah berhamburan masuk kelas.
Aku pun meninggalkankan kantin. Setelah sebelumnya menaruh beberapa lembar uang di meja kasir.
Uuh.. waktunya pelajaran fisika yang menyebalkan..



Tok.. tok.. tok.. seseorang mengetuk jendela kelas yang tepat di sebelah bangkuku. Siapa lagi kalau bukan Fidel.
“Enggak istirahat Ai?” tanyanya.
“Gak deh Del, aku mau belajar Ekonomi ajah, kan habis ini ada ulangan”
“Oh, iya ya. Ya udah aku mau ke kantin dulu”
“Eh Del, aku pinjem catatanmu dong?”
“Ambil sendiri aja di tasku. Tapi kembaliin yah.. jangan dimakan. Hehehhe..” godanya.
“Ya gak lah Del, emangnya aku serakus itu sampek makan bukumu”
“hehhe..” ia tertawa, kemudian meninggalkanku.
Aku berjalan ke bangku dibelakangku. Merogoh isi tas merah miliknya. Braak.. perempuan bertubuh gemuk itu menyenggolku.
“Maaf Aiko”
“Gak papa kok Lora” aku tersenyum, memastikan keadaanku baik-baik saja walau sedikit sakit disenggol badan gemuknya.
Buku-bukunya berserakan dilantai. Kuambil dan kutata lagi. Ketika aku tengah mengangkat buku-bukunya, terjatuh selembar kertas. Kertas berwarna putih yang sudah kusam itu terlipat dengan rapi ada sedikit sobekan di tepi kertasnya. Sepertinya aku kenal kertas tersebut. Aku membukanya. Aku tahu, aku ingat, ini kan kertas perjanjian persahabatan yang kami buat sewaktu kami duduk di kelas 3 sekolah dasar.
Semuanya berawal ketika Fidel memanggil-manggil namaku. “Ai.. Ai.. sini Ai..” tapi aku tak mempedulikannya. Aku masih terlalu asyik bermain lompat tali dengan teman-teman perempuanku.
Kemudian, Ben menyenggol Fidel. “Hey, kamu suka ya sama Aiko?” Anak laki-laki itu memang jail. Banyak banget omongnya. Suka asal ceplas-ceplos lagi. Makanya Fidel gak suka banget kalo diajak omong sama Ben.
“Enggak, Aiko itu temenku. Aku gak suka Aiko!” jawab Fidel membentak.
“Tapi kenapa kamu panggil dia Ai?” Ben mulai cari gara-gara.
“Trus kenapa?. Nama dia kan emang Ai, Aiko!”
“Namanya itu Aiko, bukan Ai”
“Namanya itu Aiko, tapi dipanggil Ai. Lagian apa salahnya sih kalo aku panggil Ai”
“Ai itu panggilan sayang, Fidel!. Dodol banget sih kamu ini. Kakakku ajah manggil Ai ke temen laki-lakinya. Soalnya kakakku sayang sama laki-laki itu. Ai itu artinya Aiiang.. Ayang Aiko. Hahhahah...”
“Terserah akulah mau manggil apa. Yang penting aku gak suka sama Aiko. Ngerti!” Fidel yang sudah biasa memanggilku Ai, sepertinya tak dapat lagi merubah kebiasaannya itu.
Fidel yang masih kesal, langsung saja membuat kertas berisi perjanjian. Dikertas itu ia menulisakan agar kita berjanji untuk tidak saling mencintai. Aku yang hanya berpikiran pendek langsung saja menyetujui janji yang ia buat itu. Aku kira aku tak akan dapat jatuh cinta padanya. Ternyata aku salah, sekarang aku justru terperangkap dengan perasaanku sendiri.
Tanpa sadar, air mataku meleleh. Sungguh kejamnya diriku, sungguh teganya aku, aku sudah mendustai persahabatan kita.
Maafkan aku Fidel..




Malam kembali hadir. Gelapnya menyelimuti seluruh angkasa. Bulan terlihat remang-remang. Bintang tertutup mendung. Aku kembali di pantai tanpa penghuni. Hanya aku seorang.
“Aku datang lagi pangeranku..” teriakku di laut yang luas itu.
“PANGERANKU..” masih tak ada jawaban. Sepertinya ia tak akan datang malam ini.
Aku masih duduk diatas pasir. Berharap ia akan datang dan mengagetkanku dengan kata-katanya. Angin pantai begitu menusuk tulang sum-sum. Deburan ombak di laut hening menghantam-hatam ke karang laut. Menyeret sebuah botol ke bibir pantai. Kubuka botol tersebut, ada selembar kertas di dalamnya. Sepertinya tuhan telah mengirimkan surat ini untukku.


Untuk, puteri manisku.



Ai, maafkan aku. Hari ini aku tak dapat menemanimu.

Jangan bersedih manis.. aku akan datang lagi esok. Aku berjanji, aku akan datang besok disaat matahari tenggelam. Mungkin, aku akan menjemputmu dengan kereta kencana. Aku ingin membawamu ke negeriku. Aku ingin kau tinggal bersamaku di istana yang sudah kubuat untuk kita.

Sekarang, bangunlah!, dan lihat matahari pagi yang sudah menyapamu dengan sinarnya. Jangan menangis lagi ya manis.. percayalah! esok akan ada keajaiban yang tak kau sangka-sangka.

Selamat pagi puteriku..



                                                                                                                                Tertanda,

                                                                                                                         Pangeran mimpimu,



 Hhh.. hh.. hhh.. hh..  aku mengatur nafasku yang masih tak karuan. Mataku terbelalak, kulihat sekelilingku. Ini kamarku!. Ya tuhan.. kenapa aku bisa bermimpi itu lagi?. Apakah tadi malam aku tak membaca doa sebelum tidur?. Hmm.. mungkin aku lupa membacanya.




Hari memang cerah, lingkaran berwana kuning itu bersinar terang. Di birunya langit terdapat gumpalan putih yang berusaha melukiskan wajahmu. Ditambah hamparan rumput hijau dan wangi bebungaan yang mekar. Menambah indahnya suasana Bukit Dee.
Namun, tetap saja aku akan bilang “awal pagi yang mendung”. Sebab, walau diluar cerah, tapi disini mendung. Tak ada warna, hanya kelabu. Awan mendung sudah menutupi hatiku. Dengan sambaran petir yang terus meledak-ledak. Aku sayu, menatap langit dari jendela kelasku.
“Ai.. kamu sakit?”
“Hmm.. enggak kok Del, aku gak apa-apa”
“Kamu kok lesu banget sih? Ada apa?”
“Gak papa kok Del”
“Serius?”
“Iya, serius Del”
“Mau coklat?” fidel menyodorkan sebatang coklat untukku.
“Makasih ya Fidel”
“Aku sering melihatmu membeli coklat batangan di kantin. Jadi, aku membelikan satu untukmu” wow.. bahkan ia hafal apa yang kubeli dikantin. Yah.. akhir-akhir ini aku memang lebih suka mengigiti coklat. Aku membaca dari majalah bahwa coklat itu dapat merubah mood seseorang.




Aku berjalan keluar kelas, menggenggam kertas yang terus membuatku merasa bersalah. Disana, ia sudah siap mengantarku ke rumah dengan sepeda kesayangannya. Tapi.. kurasa aku sudah tak mau diantar dia lagi. Aku tak ingin terlalu dekat dengannya, aku takut semakin mencintainya.
“Ai, ayo dong.. Lelet banget sih?”
“Kamu pulang sendiri saja, aku lagi pengen jalan kaki” aku menunduk, menyembunyikan mukaku yang sudah merah terbakar.
Perih rasanya, ingin aku marah. Memarahi perasaanku sendiri. Tuhan.. kenapa Kau tumbuhkan rasa ini diantara indahnya persahabatan kita?. Tuhan.. sudah cukup ia menjadi sahabatku. Sungguh, aku sudah tak kuat lagi untuk menahannya. Batinku tersiksa dengan rasa ini. Tuhan.. jika boleh aku meminta. Aku ingin tidak mengenalnya sekalipun, dari pada aku harus terjebak dengan rasa ini.
“Ai, kamu kenapa? Kamu ada masalah yah? Cerita dong Ai..”
“Enggak del, aku gak apa-apa kok” jawabku seraya berjalan menjauh darinya.
“Kamu marah ya Ai?” ia masih memaksaku untuk berbicara.
“Enggak del” aku menggeleng.
“Terus kenapa?” Maaf del, maafkan aku. Aku sudah mendustai persahabatan kita.
Aku tak mampu lagi menahan sesak di dadaku. Air mata itu pun meleleh tanpa bisa kubendung. Setiap kuberusaha berlari pasti saja ia akan mengikutiku.
“Sudah del, berhenti mengikutiku!. Menjauhlah dariku!, aku tak mau melihatmu lagi!” teriakku, dengan nada sedikit kasar.
 “Mengapa kamu menangis? Apa salahku Ai?”
“Jangan urusi aku! Lebih baik kamu pulang saja”
“Kau mengusirku?” ia menundukkan kepala, merasa bersalah.
“Iya, pulanglah saja!. Jangan pedulikan aku. Mulai besok aku akan berangkat dan pulang sendiri” aku membalas perkataannya dengan nada tinggi.
“Tapi ini sudah sore Ai, hari ini pulang saja denganku”
Memang benar, cahaya kuning kejinggaan itu sudah mulai menyelimuti sekeliling kami. Namun, aku tak peduli. Biarkan saja, aku tak takut gelap. Dan aku akan buktikan bahwa aku tak butuh dia.
“Aku bilang, berhenti mengurusiku!. Pulang saja tanpaku!”
Ia membuang begitu saja sepedanya. Ada genangan air di matanya. Kurasa, ia juga mulai terbawa emosi “Tidak Aiko. Aku tidak akan membiarkanmu pulang sendiri”
Badanku lemas, pikiranku menerawang ke langit. Isakan tangisku semakin keras. Perasaan bersalah ini menjadi-jadi dalam hatiku. Ia terlalu baik untuk kudustai. Teganya kukotori indahnya persahabatan ini. Aku tak mampu lagi berkata, lidahku kaku. Ia menggenggam tanganku, sepasang bola matanya yang kecoklatan melihatku tajam, membuatku semakin tak mampu.
“Ma-maafkan aku fidel, aku sudah mengotori persahabatan kita” kataku, diselingi dengan isakan tangis dariku.
“Kamu gak salah kok Ai. Kamu gak perlu minta maaf”
“Enggak, aku tahu aku salah fidel. Aku memang salah” ia hanya diam, dan kemudian ia merampas begitu saja kertas yang tadinya kugenggam. Rupanya ia sudah tau aku menggenggamnya sejak tadi. Ia membuka, dan membacanya sebentar.
“Ini janji persahabatan yang dulu pernah kita buatkan?” Aku hanya mengangguk. Dimatanya terlihat jelas kebingungannya.
“Fidel, maafkan aku” “Aku jatuh cinta padamu” kataku sambil menjauh darinya. kulepaskan jemarinya dari tanganku. Aku tak mau mendengar jawaban darinya.
“Ai..” Ia menarik tangan ku, mencoba menghentikan langkahku. Kubalikkan badanku, kulihat ia hanya mengerutkan kening. Matanya seakan ingin berbicara, tapi tak bisa dikeluarkan. Apa dia marah? Atau bingung? Kenapa dia?. Aku benar-benar tak mengerti. Mungkin, ia akan menamparku. Tampar saja Fidel, aku rela kau tampar. Aku memang salah, aku tak dapat menjaga perasaanku sendiri. Marahi saja aku!.
“Lihat ini Ai!” sungguh diluar pikiranku. Ternyata ia malah menyobek kertas perjanjian itu. Menjadi sobekan-sobekan kecil, dan kemudian ia membuangnya.
“Fidel.. kenapa kamu sobek?” aku bertanya kebingungan.
“Tak akan ada lagi perjanjian itu, Ai” aku pun terdiam, terpaku menatap sepasang bola matanya yang menatap tajam. Perlahan hangat air mata ku sudah membasahi kemeja putihnya.
Matahari sudah separuh tenggelam. Semburat warna merah menghiasi langit. Bulan bersiap untuk naik.
“Aku juga mencintaimu Ai..” ia membisikan kalimat itu di telingaku.
Oh, tuhan.. inikah pangeran mimpiku itu?.
Pangeranku.. ternyata kau bukan hanya ada dimimpiku. Benar!, kau datang di saat matahari tenggelam. Aku tak ragu lagi pangeranku.. Aku mempercayaimu..
Pangeran senjaku.. bawalah aku ke negerimu..