“Masak cuma gara-gara putus cinta, mau coba bunuh diri. Dasar anak muda jaman sekarang!.”
“Cuma soal nilai jelek dipikirin sampek puasa makan. Halah… itu kan cuma angka. Gak usah heboh deh.”
“Gara-gara diomongin gitu aja, dia sampek bolos sekolah kemarin. Payah banget sih!.”
Masak?. Cuma?, Aja?. Apakah penyebab frustasi itu memang sesederhana itu?
.
.
.
Aku heran, mengapa banyak orang menyepelekan penyebab frustasi. Apa mereka benar-benar tak pernah merasa kecewa?, atau hanya berpura melupa?. Apakah mereka mengganggap dirinya berperisai iman tebal?, hingga tak akan pernah merasa tertekan. Apa menurut mereka tiap ocehan yang mereka beri dapat membantu?. Apakah mereka tidak sadar, bahwa perkataan merekalah yang justru semakin menekan banyak jiwa. Merekalah penyebab frustasi itu terus berlanjut.
Mereka yang menghujat habis-habisan padahal hanya tau penggalan ceritanya. Padahal mereka tak tahu pasti, apa yang telah orang tersebut alami. Bagaimana lingkungannya, masa lalunya, latar belakangnya, proses bagaimana dia tumbuh. Bisa saja, ada kisah rumit yang sangat kompleks yang membuat dia menjadi merasa tertekan. Yang mungkin, dirinya sendiri juga tak pernah menyadari hal itu. Sebagai manusia yang punya akal dan hati. masih pantaskah kita menghujat seseorang yang sedang kecewa?. Bukankah itu hanya membuat mereka merasa semakin tertekan?.
Soal iman, mungkin iman penderita frustasi memang sedang tipis saat itu. Tapi menganggap iman orang yang tidak mengalami frustasi jauh lebih tebal, bukahlah sebuah kebenaran. Iman itu masalah Tuhan bukan?. Untuk apa manusia mengukur-ukurnya dengan persoalan frustasi atau tidaknya. Secerdas itukah kita dalam mengukur iman?. Apakah kita akan merasa hebat dengan mengukur iman seseorang?.
Frustasi adalah kejadian yang wajar terjadi. Bukan hal tabu yang harus dipendam sendiri. Tapi kebanyakan, penderita frustasi harus menyimpan hal itu sendiri. Karna tak ingin mendengar ocehan yang semakin menyakiti hati. Kata-kata menggurui, yang padahal pembicaranya tak mau mendengar alur kisahnya dengan seksama. Pernyataan menyalahkan, bahkan kasar. Dari pada mendengarnya, penderita frustasi merasa lebih baik menahan semuanya sendiri. Sambil menunggu, waktu yang akan menyembuhkan. Atau malah waktu semakin membusukan dan memperburuk segalanya.
Salahkan, mereka yang terus meyalahkan. Yang menyalahkan, dengan harapan penderita frustasi itu dapat mengetahui kesalahnya. Tapi ada hal yang sebenarnya tak mereka tahu. Penderita frustasi yang kini dianggap pesakitan itu, pastinya telah mengetahui celahnya. Jauh lebih tau, daripada mereka yang sok tau. Masih efisiensikah menyalahkan dengan nada kasar dan merendahkan?. Padahal dia yang mereka salahkan, sedang berusaha memaafkan salahnya. Dia sedang berusaha memperbaiki berantakannya. Dia sedang berusaha bangkit, mengesampingkan celahnya. Dia ingin dibantu, didengar, dikuatkan. Dia ingin direngkuh hangat. Bukan dihakimi seolah yang bersalah. Memang salah, tapi masihkah harapan itu ada?. Itu yang dia harapkan. Sebelum semuanya benar-benar dihancurkan.
Mari kita ingat lagi, bukankah frustasi itu dapat menyerang siapa saja. Kita semua punya potensi frustasi. Kita semua punya potensi dikecewakan hingga merasa tertekan. Meski dengan masalah berbeda, kadar berbeda, cara berbeda dan cerita yang berbeda. Tak dapat dipukul rata, karna jelas kita individu berbeda. Yang punya masalah berbeda, masa lalu berbeda, ketakutan berbeda, sudut pandang berbeda.
Apa yang mereka lihat, berbeda dengan apa yang dia lihat. Apa yang mereka rasakan, berbeda dengan apa yang dia rasakan. Apa yang mereka alami, berbeda dengan apa yang dia alami. Sebagai manusia yang punya hati dan pikiran, bukankah lebih bijak kita mencoba untuk memahami perbedaan ini. Kita memang tak akan pernah bisa merasakan menjadi dirinya. Selamanya kita tak akan pernah memahami menjadi dirinya. Tapi bersikap diam tanpa sok menghakimi akan jauh lebih baik rasanya.
Mari kita pertajam sebuah poin penting dalam tulisan ini. Bahwa penyebab frustasi itu sebenarnya sama sekali tak sederhana. Tapi pemikiran kitalah yang sebenarnya terlalu sederhana. Mari bantu mereka yang sedang kecewa. Jangan malah menekan dan menyalahkan. Mereka hanya perlu didengarkan, bukan diomeli dengan kalimat menggurui. Karna yang lebih tau, hanyalah dia yang mengalami. Mari kita ingat kembali, frustasi itu dapat menyerang siapa saja. Mereka yang sudah merasakannya mungkin sudah lebih kebal imunnya. Kita yang belum benar-benar merasakannyalah yang saat ini beresiko tinggi.
Rengkuh mereka yang kecewa dan tertekan. Mereka bukan pelaku kriminal atau pasien sakit jiwa. Mereka hanya sedang berada diposisi sulit. Rengkuh sebelum mereka benar-benar menjadi pelaku kriminal dan pasien sakit jiwa.
Aku juga pernah frustasi, saat kita dalam titik terendah kita
BalasHapusitu si menurut aku hal yang wajar karna kita sebagai manusia
jangan lupa mampir ya kak ke blog aku
Setuju, frustasi itu hal yang wajar terjadi. Tiap orang punya potensi mengalaminya. Sayangnya banyak orang juga yang meremehkan. Menganggap orang yang mengalami frustasi sebagai orang sakit jiwa. Padahal ini hal yang manusiawi sekali.
HapusTerimakasih sudah mampir ya.