Katanya…, “Buah jatuh tak jauh dari
pohonnya”. Tapi, apa hanya aku sendirian yang tak mempercayai
peribahasa tenar tersebut?.
Peribahasa yang bahkan hingga saat
inipun masih menjadi sabda mujarab masyarakat. Untuk mendokrit keburukan bapak
yang katanya, pasti akan diturukan. Untuk mengulik masa lalu ibu, yang diramalkan
berakibat kelam pada masa depan anaknya. Atau, untuk memaksa anak dalam
menirukan kelakuan bapak ibunya. Memaksa anak laki-lakinya menjadi setegas
bapaknya yang seorang tentara. Memaksa anak perempuannya setelaten ibunya yang
mengabdi sebagai ibu rumah tangga. Seolah anak itu adalah hasil kopian
indukannya. Sebab (masih katanya), buah jatuh tak akan jauh dari pohonnya.
Konyol memang. Atau hanya aku
sendirian yang mengatakan konyol. Kuharap tidak. Haha.
Ah, siapasih yang sebenarnya
membuat kalimat bualan semacam ini. Ayolah bung, anak itu lahir dari Rahim,
bukan seperti buah yang jatuh dari pohon. Tak bisa disamakan.
Anak lahir karna usaha bayi dan ibunya
dalam pencarian jalan lahir. Sang bayi yang harus berusaha menghindari lilitan
tali pusar untuk bisa lahir gangsar. Tubuh bayi harus memutar dengan posisi kepala di bawah, sehingga menekan lubang
lahirnya. Sedang sang ibu harus menahan kontraksi yang memeras-meras perutnya.
Kadang sang ibu harus meronta kesakitan, menggigiti bibir bawahnya untuk
menahan nyeri tak tertahankan. Mencakari bantal empuknya. Jika tidak, kulit
suaminya jadi korban. Atau kulit mulus perawatnya ikut diserang. Demi sang bayi
yang sedang berusaha mencari jalan keluar menuju dunia.
Itu adalah kisah anak yang
dilahirkan. Lalu bagaimana dengan buah?. Sepertinya usaha buah untuk jatuh tak
lebih rumit dari usaha bayi dilahirkan.
Sebab buah tak punya anugrah
seistimewa bayi. Dimana Tuhan telah menganugrahkan pada bayi, sifat pemimpin
sedari dalam rahim. Terlihat dari bagaimana gaya memimpinnya untuk mencari
jalan lahir. Melalui inisiatif panggilan alam yang entah ia dengar darimana.
Sedangkan buah, hanya bisa berpasrah. Jatuh karna gaya gravitasi menariknya
untuk jatuh. Bisa juga karna hembusan angin yang mengendorkan pegangannya pada
pohon. Kadang, juga karna senggekan anak-anak
yang memaksanya untuk jatuh prematur.
Maka tak diherankan bahwa buah
cenderung jatuh didekat pohonnya. Sampai akhinya ada manusia yang memungutnya
untuk dijual dipasar. Atau jika tak diharapkan, dibiarkan busuk begitu saja.
Sebab buah hanya mampu untuk berpasrah. Namun bayi, ia telah lahir dengan
anugrah sebagai pemimpin dalam jiwanya. Meskipun bayi tetap saja lahir didekat
selangkangan ibunya. Dibentuk pula karna perpaduan selangkangan bapaknya. Namun
ia memiliki otak yang sanggup memimpinnya untuk memutuskan berjalan menjauh
dari indukannya atau tidak. Hingga mungkin, suatu hari nanti ia akan berkata lancang,
“Aku tak seperti bapak dan ibuku.”
Haha, seperti itulah sebuah teori
dari seorang gadis yang terlalu kencur untuk mengenal kehidupan. Boleh
dipercaya atau tidak. Boleh dikecam, tapi jangan terlalu sadis. Sebab gadis ini
bisa menangis tujuh hari tujuh malam jika sakit hati. Jika dianggap keliru,
silahkan tertawakan saja sekencang-kencangnya. Hahaha.
Baiklah, tak adil rasanya jika
tulisan ini hanya melihat sebuah sisi tentang penolakan. Sebagai alternatifnya,
maka mari kita juga coba untuk mempercayai makna dari peribahasa yang baru saja
kita tolak.
Kita anggap saja bahwa kalimat “Buah
jatuh tak jauh dari pohonnya”, adalah sebuah kebenaran. Eh, tunggu dulu, tapi apakah
benar, bahwa tiap buah yang jatuh itu memang tak jauh dari pohonnya?. Bagaimana
jika seandainya itu adalah pohon jeruk yang ada di pucuk bukit. Saat buahnya
jatuh maka buah itu menggelinding kebawah. Menuruni bukit, mengikuti hukum alam
yang tak akan sanggup dilanggar. Hingga akhirnya buah itu bermuara di kaki bukit
yang tanahnya lebih datar. Sedangkan pohon induknya ada di ujung bukit nan jauh
disana.
Atau mungkin, dalam kondisi lain
yang sama saja mengenaskannya. Ada sebuah pohon apel ditepi jurang. Buahnya
yang merah terlihat begitu menggoda. Hingga tiba saatnya buah itu jatuh. Sialnya, buah itu jatuh dan langsung
tergelincir ke dasar jurang yang gelap. Terpisah dari pohonya yang masih
berdiri kokoh di atas sana.
Jika bukan pohon apel, mungkin
itu adalah pohon kelapa yang berada di tepi pantai. Tak semalang kisah
sebelumnya, buah kelapa ini berhasil jatuh dengan mulus pada hamparan pasir
lembut disamping pohonnya. Namun sedetik kemudian ombak mulai mendekati buah
segar itu. Ombak kali ini menjulur jauh lebih panjang dari biasanya. Seolah ingin
mencuri kelapa segar yang menggoda. Akhirnya buah itu terendam, dan mengambang
diatas air laut. Kemudian saat ombak kembali ke laut, buah kelapa itu ikut terseret.
Terbawa jauh dari pohonnya. Ternyata, nasibnya tak kalah malang.
Oh, sungguh nelangsa sekali nasibmu para buah. Baru saja matang, namun malah jatuh terlalu jauh dari pohonmu.
Tapi ada juga kok kisah yang tak
senelangsa itu. Buah dari pohon randu contohnya. Pohon satu ini justru meridhoi
agar buahnya tak jatuh didekatnya. Saat kemarau, buah randu yang hijau akan
berubah kecoklatan, tanda mengering. Didalamnya, terdapat kapuk putih bererta
biji klenteng mengintip. Jika kulit
buah telah pecah, maka kapuk dan klenteng
sudah siap meninggalkan cangkangnya. Dibantu dengan bantuan angin, keduanya terbang
bagaikan salju ditengah panas. Begitulah cara randu agar bakal anakannya tidak
tumbuh berdekatan. Hmm,, sungguh bijak sekali wahai engkau pohon randu.
Dari kisah para pepohonan
tersebut maka dapat dilihat bahwa pernyataan, “Buah jatuh tak jauh dari
pohonnya” itu tak dapat mutlak dibenarkan. Ah, lagi-lagi sebuah anggapan
penolakan. Haha, biar sajalah. Sebab, seperti itulah pendapat dari penulis kencur
ini. Memang ada benarnya buah yang jatuh tak jauh didekat pohonya. Namun, perlu
juga dilihat, bahwa ada juga yang tak dikehendaki jatuh terlalu jauh dari
pohonya. Ada pula yang memang sudah dirancang untuk tak jatuh di dekat
pohonnya, seperti pohon randu misalnya.
Sebagai seorang anak, kita berada
di kelompok posisi yang mana?.
Jika merasa bahwa kita adalah
anak yang jatuh tak jauh dari pohonnya,
maka selalu bersyukurlah. Sebab itu artinya, ada aliran darah kental yang
diturunkan oleh orang tuamu. Bersyukur dan berbahagialah, karna dari darah itu
kamu bisa diberikan sebuah kehidupan. Hingga akhirnya darah itu memenuhi tubuhmu.
Menjadikan jantungmu tetap dapat memompa. Mengaliri pembuluh darahmu untuk
menyebar asupan bagi seluruh organ. Terutama otak pada kepalamu, yang menjadikanmu
tetap menjadi makhluk yang terhormat.
Namun, jika kamu berada pada
posisi sebaliknya. Yaitu jatuh terlalu jauh, namun tidak dikehendaki. Jangan
lantas merengek bersedih. Slalu ingatlah, bahwa dirimu tetaplah buah dari
pohonmu. Kamu tetaplah buah istimewa. Hanya saja, Tuhan sedang menguji seberapa
tegar jiwa kepemimpinanmu. Seberapa kamu bisa mengendalikan dan mengatur
stategi memimpin raga dan jiwamu. Hargai mereka, dan bahagiakan diriku. Ingat,
kita bukan hasil fotokopian. Sebab jelas, Tuhan tidak malas, dengan hanya
mengandalkan tombol CTRL+C untuk menciptakan makhluknya. Tuhan menciptakanmu
begitu unik dan istimewa.
Perkara apakah kita ini adalah
buah yang jatuh tak jauh dari pohonnya atau tidak. Itu bukan perkara penting.
Sebab apapun keadannya, kita tetaplah buah cinta dari pohon indukan. Yang telah
mengayomi sedari kita masih berupa pentil.
Segala situasinya, adalah makna kemurahan kasih dari Tuhan.
Yah, tak terasa sudah seribu
huruf mengoceh. Kata-kata sudah menumpuk berbaris-baris. Alangkah baiknya, kita
sudahi saja sabda dari gadis kencur kali ini. Semoga segala kebaikan menjadikan
sebuah kesan berarti. Sedangkan kesalahan dan keluputan dapat termaafkan. Sebab
biarpun sekecil kencur, dosa gadis ini sudah menumpuh menggunung-gunung.
Terimakasih juga atas kebaikan hati dalam meluangkan waktu untuk membaca ocehan
ini hingga tanda titik terakhir.
.
Buah jatuh tak jauh dari
pohonnya : Sebuah istilah yang memiliki makna bahwa sifat anak pasti tidak berbeda jauh dengan orangtuanya.
Gangsar : Lancar
Menyenggek : Menjatuhkan sesuatu dengan cara didorong dengan kayu panjang.
Pentil : Buah yang masih sangat muda (bakal buah)
.