Lahir dari keluarga harmonis. Membuat 'Aku' kecil menjadi buta akan beberapa hal yang buruk. Semua yang diberikan pada 'Aku' kecil adalah segala hal yang baik. Dan hal buruknya, disembunyikan dengan rapat oleh mereka. Mereka tak mau 'Aku' kecil tercemari hal buruk. Mereka menjaganya agar 'Aku' kecil tetap bersih.
Namun, ada yang lupa untuk mereka ajarkan. Mereka lupa mengatakan bahwa dunia tak akan selamanya ramah. Dunianya bukan hanya rumah. Teman bermainnya bukan hanya Mario di Nintendo. Prestasi yang harus ia capai bukan lagi cuma menjadi rangking satu atau dua. Masalah tersulitnya bukan pada belajar sempoa. Ada banyak orang di dunia ini, bukan hanya keluarga, yang mengasihi. Tapi ada juga yang membenci, iri.
Hingga akhirnya seseorang melukai 'Aku' kecil. Tapi sikap bersihnya, membuat 'Aku' kecil hanya diam tanpa melakukan perlawanan. 'Aku' kecil tak bisa melawan, karna selama ini yang ia tau hanya sabar. Seperti tokoh utama dalam film 'Bidadari' di televisi. Yang hanya pasrah dan bersabar. Sampai peri cantik akan menolongnya.
Tidak, gadis kecil ini tak bisa mencontoh hal fiksi itu. Sebab dunianya akan semakin kejam, harus ada perlawanan. Merekapun akhirnya mengajarkan. Bagaimana semestinya bersikap saat dilukai. Cara melawan dengan lantang. Berkata "tidak!!!" tanpa segan. Berteriak membela diri. Bahkan memukul jika perlu. Mereka mengajarkan berulang-ulang.
Perlahan, 'Aku' kecil pun belajar, bagaimana bersikap menjadi keras. Ia menolak untuk ditekan. Ia tak ingin dikuasai siapapun. Air bening itu telah berhasil dibekukan. Menjadi sekeras batu sekarang. 'Aku' kecil tak dapat mengontrol hal tersebut. Gadis bertubuh kecil ini tak bisa diremehkan.
Sikap bekunya terus tumbuh hingga 'Aku' menjadi remaja. Bahkan kini menjadi semakin keras. Hatinyapun begitu. Membuat 'Aku' remaja tak mudah menaruh hati pada lelaki. Meskipun tak sulit baginya untuk bergaul bersama teman lelakinya. Keduanya biasa berbincang bersama, bercanda, bahkan bertengkar. Mungkin karna sikap kerasnya, membuat 'Aku' remaja merasa lebih nyaman bergaul dengan beberapa teman lelaki. Hidup dikelilingi hati yang lemah adalah ancaman baginya.
Keduanya tak jarang bertengkar, beradu argumen tentang hal sepele. Bahkan parahnya, keduanya sering menyakiti satu sama lain. Dunia seakan ikut berguncang saat keduanya bersama. Tak ada yang mau mengalah. Mereka berdua mengaku saling membenci, tapi tak mampu untuk berpisah. Seolah tiap kericuhannya adalah kebutuhan, agar keduanya bisa tetap bersama. 'Aku' remaja yang mengaku benci, kini terjatuh sangat dalam.
Bukan hanya sekali, dimasa setelahnya, 'Aku' remaja jatuh kembali pada kisah yang hampir serupa. Seolah Tuhan memperingatkan agar hati 'Aku' dilunakkan. Sudah terlalu lama 'Aku' membekukan diri.
Teman-teman lelaki 'Aku' kompak mengatakan. Agar 'Aku' harus berubah. Mereka mengatakan, perkataanku terlalu pedas untuk dimakan. Tubuhku terlalu dingin untuk disentuh. Dan kadang, 'Aku' bisa menjadi sangat mendidih saat bersikap. 'Aku', menjadilah lebih kalem. Hadapi kehidupan dengan damai. 'Aku', harusnya tenanglah dalam bersikap. Jadilah perempuan yang menyenangkan.
Maka tak heran, 'Aku' masih saja terbiasa sendiri. Dan sangat sulit untuk mengubah kebiasan itu. 'Aku' yang berusaha dengan keras, mengurangi gengsi. Menjaga lisan, dan keinginan. 'Aku' yang belajar dari buku-buku psikologi, bagaimana menghadapi manusia. Tapi kesulitan mempraktikannya. 'Aku' yang belajar mengontrol marah, mengatur nafas, dan suara. 'Aku' yang belajar bagaimana cara menyampaikan rasa secara tersirat, dengan indah.
Tapi lihatlah, para teman lelaki yang mengharapkan gadis ini untuk berubah. Lihatlah, bagaimana kejamnya dunia ini. Bagaimana mungkin 'aku' melunakkan diriku saat dunia menjadi semakin keras. 'Aku' tak mau ikut hancur karna kerasnya dunia. 'Aku' ingin mengalahkan segalannya.
Dan tidakkah kalian tau betapa sulitnya menjadikan diri ini menjadi sekeras sekarang. Kini, mengapa semuanya seolah berbalik. Saat diri ini lunak, dunia menginginkannya menjadi keras. Saat diri telah menjadi sangat keras, dunia menginginkannya melunak. Ini gila!!!!. Apa yang sebenarnya dunia inginkan?. Dunia seolah tak pernah mau mendukung. Membuat bingung manusianya. Kita harus bagaimana?. Apa permainan yang kau inginkan wahai dunia?.
'Aku', tenanglah. Atur emosimu sebagaimana semestinya. Coba ingat lagi perkataan orang jaman dulu. Syair yang dulu sering mereka dendangkan. Bukankah benar bahwa hidup ini hanyalah panggung sandiwara. Sedangkan kitalah para pemerannya. Inilah yang sebenarnya dunia inginkan. Kita berperan sebagaimana seharusnya.
Kadang dalam kisah romantisme percintaan. Kadang kisah lucu yang konyol. Kadang kisah bertengkar yang membakar jiwa. Kadang kisah perjuangan yang meletihkan. Bisa saja kita berperan dipihak putih. Bisa saja dipihak hitam. Atau mungkin abu. Memang tidak semua kisah menyenangkan, tapi tetaplah berusaha berperan sebaik mungkin.
Seperti di tulisan ini, kita sedang berperan menjadi bijak. Menjaga suara semanis mungkin. Berlaku selembut mungkin. Yang terpaksa menghormati, atas dasar kesopanan. Kita berpura, menjadi perempuan sejati. Yang hanya melantangkan suara diatas kedholiman. Meskipun tak banyak yang tau, kita bisa menjadi sangat liar. Tertawa begitu lepas pada hal yang sederhana. Berteriak begitu keras, hingga tanah meretak. Pernah juga rasa frustasi yang sangat kuat, hingga ingin bunuh diri. Kadang kita gila, hingga salah arah. Tak banyak yang harus tau.
Biarlah, biar semua hal baik Itu yang terlihat. Biar kisahnya menjadi hiburan, atau mungkin pengajaran. Hal buruknya, aku sendiri yang menyimpan. Tuhan juga yang bantu simpankan. Tak ingin diumbar, tak ingin dibagi. Ini penyakit dulu, yang pernah membuat ngilu. Tak mungkin aku membagi sakitnya. Kita akan bertopeng kebaikan. Padahal diri penuh noda.
Baiklah, mulai sekarang, kita akan bermain peran. Peran protagonis, antagonis, atau tritagonis. Kitalah yang punya kuasa untuk memilihnya. Dunia hanya memfasilitasi, berupa panggung seluas bumi. Dengan skenario yang ditulis apik. Sadarkah, bahwa kita ini sebenarnya seniman teater. Yang melakukan pertunjukan berpanggung kehidupan. Kita harus siapkan seribu topengnya. Sebab kita akan bersandiwara tanpa bayaran. Sepanjang waktu, tanpa henti. Hingga Tuhan tetapkan waktu pensiun itu secara tiba-tiba.
.
.
.
Iya, kita ini seniman teater. Yang akan bersandiwara, harus bersandiwara, dan terus bersandiwara. Tanpa henti.