Hari itu hari
yang panas banget, tepatnya pulang sekolah pukul 2 siang. Matahari sedang
bersemangat untuk bersinar. Uuhh… panasnya dahsyat. Sampai-sampai bongkahan es
didalam minuman berasa permen karet yang kubawa langsung meleleh terkena
sengatnya yang tajam. Begininih apesnya tinggal dikota industri, siang hari
sperti terdapat dua matahari saja. Belum masalah asap kendaraan dan
pabrik-pabrik, penduduk yang terus bertambah, pohon yang ditebang karna
mengganggu jalan, sawah yang diubah jadi perumahan, dan kemaksiatan yang
merajalela. Rasanya lengkap sudah deh semua faktor yang membuat kota kecil ini begitu
panas, sempit dan menyesakkan.
Okey… back to
the story (sok amat sih pakek bahasa inggris segala, hehhe). Jadi… ceritanya
waktu itu aku lagi pulang sekolah. Tapi gak lagi di sekolah, melainkan di
gerbang depan sekolah. Nah… di depan gerbang itu ada jalan, namanya jalan
Pattimura, itu lho… pahlawan yang ada di uang seribu. Di jalan itu ada banyak
banget kendaraan yang lewat. Ada
motor, mobil, sepeda, becak, truk, angkot, bus, dan sebagainya. Terus…
ceritanya aku lagi nungguin salah satu dari berpuluh-puluh, berribu-ribu,
bahkan berjuta-juta dari kendaraan yang lewat tersebut. Kira-kira apa yah???.
Coba tebak… Hadduhhh… R-I-B-E-T… dari pada tambah ngaco langsung to the point
ajah deh. Intinya saat itu aku lagi nungguin angkot (titik).
Setelah
menunggu sekitar 7 menitan, akhirnya angkot yang aku tunggu itupun datang juga
menghampiriku. Buru-buru deh, aku dan segerombolan teman-temanku menyerbunya. Yahh…
sayangnya aku kalah cepat dengan mereka. Angkot tersebut sudah keburu penuh.
Sepertinya aku harus menunggu angkot selanjutnya. Akupun menurunkan kakiku dari
pijakan angkot dengan perasaan kesal.
“Mbak…”
tiba-tiba sebuah suara mengagetkanku, menghentikan langkahku.
“Masih cukup
kok mbak. Tenang ajah” katanya sambil mempersilahkanku untuk menduduki tempat
duduknya.
“Saya pakek dengkleg
ini aja” lanjutnya sambil menarik sebuah kursi kecil.
“Makasih”
jawabku kepada seseorang lelaki berpakaian biru-putih tersebut, yang mungkin
seumuran denganku.
Angkotpun
berjalan, biasanya aku paling suka memperhatikan jendela di depanku. Tapi kali
ini tidak, rupanya mataku lebih asyik melirik ke kiri dari pada melihat
keramaian di luar sana.
Kulihat bibirnya yang tampak komat-kamit tak karuan, seperti sedang
mendendangkan sebuah lagu, tapi tak dapat kudengar. Kepalanya
mengangguk-ngangguk seakan menikmati. Ahh… tampan sekali wajahnya. Alis
hitamnya yang tebal membingkai indah matanya.
“Pak…
pertigaan depan ya…” Teriak Nola, teman sekelasku.
Sampai
dipertigaan angkot inipun berhenti. Nola bersama gengnya pun turun. Hhh…
akhirnya lega. Sekarang tinggal 5 orang yang tersisa didalam angkot, Aku, cowok
itu, seorang ibu dan anaknya, kemudian sopir angkot. Angkot tersebut berjalan
lagi, aku membetulkan posisi dudukku (ceritanya lagi salting gitooh…).
Tangannya kali ini memutar-mutar sebuah kotak. Kotak kecil berwarna merah, dan
sepertinya aku kenal dengan kotak itu. Mmm… Oh iya iya aku ingat. Itu kan kotak rokok.Ya ampun
ternyata nih anak ngerokok toh… Ganteng-ganteng kok ngerokok.
Aku benci…
banget sama rokok. Benci… benci… benci…. Rokok yang membuat aku tak dapat lagi
bertemu dengan ayah. Ayah meninggal sejak aku kelas 2 SD. Ayah memang
sakit-sakitan dan sering bolak-balik masuk rumah sakit. Dokter bilang ada
masalah pada paru-parunya yang menyebabkan dadanya sesak. Sejak muda ayah
adalah perokok aktif. Itulah yang membuat paru-parunya menjadi rusak. Makanya
ibu slalu mengingatkan kepada anak-anaknya agar tidak merokok. Rupanya nasehat
ibu telah kudengarkan dengan baik, sehingga menularkan dan membuatku benci
terhadap rokok.
Pernah suatu
hari aku berkata pada ibu bahwa aku sangat membenci rokok. Tapi ia justru
berkata yang seakan tak membenarkan prinsipku. Begini katanya, “Nak… gak boleh
terlalu benci itu. Ibu gak pernah mengajarkan untuk membenci rokok, tapi lebih
tepatnya menjauhi. Ayahmu meninggal itu bukan karna rokok. Tapi karna Allah
yang menginginkan. Jangan menyalahkan rokok, tidak sepenuhnya rokok itu buruk. Coba
kamu lihat kakakmu itu. Kalo gak ada perusahaan rokok, kakakmu gak bakal bisa
seperti ini. Sekarang ia sudah bisa mewujudkan cita-citanya, itu karna
perusahaan rokok. Ibu juga takut kalo ngliat kakakmu ngeband dan pulang malem
gak jelas. Perusahaan rokoklah yang memberikan kakakmu tampungan, sehingga
kakakmu bisa berkembang dan ibu gak perlu takut. Terus, kalo gak ada perusahaan
rokok ommu bakal makan pakek apa. Tapi sekarang buktinya Mia dan Ima bisa
tumbuh gede kan…”
begitulah kata ibu, tapi tetap saja itu tak bisa merubah pandanganku terhadap
rokok. Sebab… rokok itu pembunuh.
Sopir angkot
buru-buru mengerem angkotnya, karna seseorang disamping jalan melambaikan
tangan. Sedangkan ia tampak asyik memainkan korek api ditangannya. Uuhhh… tuh kan mau dinyalain. Gak memperhatikan
orang lain banget sih. Nanti kalo asepnya ke aku semua gimana, mau kamu tukerin
nyawamu buat aku. Pindah deh… Aku bangkit dari tempat dudukku. Untung ajah
angkotnya lagi longgar, jadi bisa pindah. Dan e… e… e… sesuatu yang yang tak
terduga terjadi, mengejutkanku, terheran-heran aku dibuatnya. Membuatku melongo
dengan bibir bulat mirip kue donat sehingga membunyikan huruf O yang panjang (ala…
lebay). Ternyata oh ternyata. Cowgan itu anaknya pak sopir angkotnya. Dan lagi-lagi…
ter… nyata… dia enggak ngerokok.
Rokok yang
tadi dibawanya itu ternyata punya bapaknya. Aku baru tau setelah aku berdiri
mau pindah duduk, si pak sopir itu bilang begini sama anaknya. “le… rokok bapak
mana?”. Terus tuh anaknya bilang begini “ini pak. Tapi jangan dinyalain disini,
nanti ngganggu penumpang yang laen” untuk kalimat yang terakhir dia sedikit
mengecilkan volume suaranya, tapi telingaku jelas menangkap suaranya yang berat
itu. Pak sopir itu pun menjawab penyataan anaknya dengan anggukan.
Hhu hhu hhuh…
nyesel deh telah menilai anak baik itu dengan buruk. Ternyata dia termasuk
orang yang memperhatikan kenyamanan orang lain didalam kendaraan umum. Adduhhh…
bener-bener merasa bersalah deh, maaf yah… (makanya hati jangan buru-buru nilai
orang dong…). Sangking merasa bersalahnya, aku sampek bengong sendiri dengan
keadaan setengah duduk, alias dengan posisi pantat belum nempel kursi. Yah…
akibatnya ketika angkot mulai berjalan aku jadi terbanting ke samping. Dduuuh…
sakit. Begitu sadar ternyata seluruh pasang mata tertuju padaku. Hihhi… jadi
malu.