Sebelumnya perkenalkan, aku adalah seorang anak yang lahir di sebuah kota kecil bermayoritas Muslim. Yang sangking terkenal kereligiannya, kotaku ini sering disebut sebagai kota santri. Dikotaku, adalah sebuah kemustahilan jika seorang anak yang lahir dari keluarga muslim tidak pernah belajar mengaji. Sejak kecil anak-anak disini sudah dititipkan ke TPQ. Tiap sore belajar mengaji. Malampun, kadang masih bermain-main di langgar.
Meskipun pada akhirnya, tidak semua anak tumbuh sealim yang diinginkan orang tuanya. Tapi setidaknya, setiap Jumat, masjid-masjid penuh oleh jamaah. Jalan trotoalpun dibuat ibadah. Karna masjid tak dapat menampung jamaah yang melimpah. Jalanan sepi setelah masuk waktu shalat. Tidak ada kendaraan yang berlalu lalang, kecuali jika sangat terpaksa. Kendaraan umum yang beroperasi, juga berkurang jumlahnya. Semuanya menghormati. Para laki-laki muslim pergi ke masjid. Anak-anak kecil berpecipun meramaikan, meski hanya senang begurau dengan teman saja. Sedang yang perempuan, tabu untuk keluar rumah. Yang tidak ke masjid pun haram untuk mengganggu.
Tiap bulan puasa. Warung juga jarang beroperasi. Kalaupun beroperasi, warung itu biasanya ditutup tirai hingga yang terlihat hanya bagian betis kebawah. Di sekolahan pun sama. Kantin cuma dibuka seperdelapan pintu. Yak, cuma ada sedikit celah yang dibuka. Bahkan kadang, ditutup total. Hanya minimarket yang masih bertahan. Dengan makanan dan minuman yang dibalut dengan kemasan dan merk.
Yang tidak puasa, baik yang non muslim, perempuan yang sedang berhalangan, dan juga yang lainnya. Kadang, juga ikut separuh berpuasa. Berpura-pura seperti orang puasa sejenak. Ikut juga menahan segala nafsu sejenak. Tabu, untuk makan dan minum di depan umum. Sebagai manusia dewasa, kami harus bersembunyi dulu untuk sekadar memasukan sesuatu ke dalam mulut. Mengunyah dan menelan dengan hati-hati. Atas dasar menghargai yang berpuasa.
Terlebih, 12 tahun orang tuaku menyekolahkanku di sekolah Islam. Membuat penglihatanku sedikit buram akan perbedaan keyakinan. Sejak umur 3 tahun, aku sudah belajar menghafal hadits dan surat pendek. Hingga SD dan SMP. Aku baru merasakan rasanya sekolah negri setelah aku masuk SMA. Aroma kebebasan, dimana tidak akan ada guru yang memaksa pergi ke masjid saat makan siang belum sepenuhnya bersih. Tidak ada lagi yang menodong hafalan surat dan terjemahnya. Apalagi guru perempuan yang merogoh pantat siswi, untuk memastikan mereka benar-benar menstruasi.
Kebebasan, tapi sebenarnya tak sepenuhnya bebas. Bahkan kadang, beberapa hal terdengar konyol. Saat kelulusan hampir dekat salah satunya. Saat itu kami berdoa, dengan botol air minum terbuka di depan muka. Katanya, keberkahan akan mengalir saat kami teguk airnya. Itu terdengar menggelikan ditelingaku. Bukankah Tuhan juga bisa memberikan keberkahan tanpa perantara. Bahkan beberapa hal seolah Ia jatuhkan dari langit begitu saja. Tapi dibalik itu semua, aku belajar, meskipun kami menyembah tuhan yang sama, tapi cara pandang kami dalam beribadah kepada-Nya bisa saja berbeda. Dan itu menyenangkan.
Setelah itu aku memutuskan kuliah di luar kota. Di kota besar yang mendapatkan prestasi sebagai salah satu kota terpadat di negeri ini. Sudut pandang baru yang luar biasa aku dapat. Hal yang bahkan tidak pernah aku harapkan. Menjadi hadiah paket pembelajaran paling istimewa dari Tuhan.
Kebetulan, aku kuliah di tempat yang sangat multikultural. Bukan hanya anak Jawa seperti yang biasa kulihat. Aku belajar dan tinggal dengan orang dari berbagai daerah. Dari yang ada di ujung Sumatra hingga sulawesi. Dari sinilah, aku belajar banyak dari perbedaan. Perbedaan bahasa, logat, budaya, agama hingga kepercayaan.
Lingkungan tempat tinggalku juga berbeda. Jika dirumah, aku sudah tidak asing dengan bacaan pujian menjelang adzan. Sekarang, hal itu menjadi langka ditelinga. Terlebih, karna letak asramaku cukup jauh dari masjid. Sehingga telinga kami sedikit kesulitan menangkap suara adzan yang keluar. Atau mungkin, corong masjid yang kurang besar untuk menjangkau jarak.
Sekarang, bisa dibilang aku tinggal di lingkungan ‘Katolik’. Sangat berbeda jauh dengan lingkungan rumahku yang sudah kisaran 10 tahun kutinggali. Yang mana belakang rumahku ada masjid dan madrasah. Lapangan belakang rumahku juga seringkali digunakan untuk acara keagamaan islam. Tapi sekarang, kebalikannya. Tidak ada masjid, tapi gereja besar dan di sampingnya kompleks sekolahan katolik. Beberapa langkah dari situ, ada klinik dan apotik katolik. Tiap minggu pagi dan sabtu malam, aku jadi terbiasa dengan jalan yang tiba-tiba penuh, jadi tempat parkir dadakan. Mobil-mobil berjajar di ruas jalan. Hingga depan asrama penuh jadi parkiran.
Pemandangan yang sama seperti saat kami umat muslim beribadah. Tapi sekarang, aku bukan lagi melihat ‘kami’. Tapi ‘mereka’, yang beribadah. Apalagi kalau kebetulan aku harus pergi ke minimarket untuk membeli beberapa barang. Melewati gereja yang juga kebetulan diadakan ibadah. Berjalan diantara lalu lalang orang yang melangkahkan kaki dengan damai. Mencari keberkahan dari tuhan yang mereka yakini. Aku menerka, mungkin, gereja yang luas itu sekarang sudah penuh dengan jamaah.
Dengan kerudung yang masih di kepala. Sejenak, aku merasakan rasanya jadi kaum minoritas.
Setelah merasakan bulan puasa di lingkungan baru. Aku juga merasakan keganjilan yang membuat heran. Yang kadang, membuatku lupa, bahwa ini Ramadhan. Tapi tak jauh beda dari hari biasanya. Orang terlihat lebih bebas makan dan minum ditengah bulan puasa. Sadar melakukannya, tanpa merasa terpaksa. Tanpa perlu berpura-pura. Apalagi merasa dihakimi, padahal mereka dewasa yang harusnya mengerti. Warung dibuka tanpa perlu ‘dikrukupi’. Warung telanjang, mempertontonkan makanan menggoda. Sedang beberapa orang terlihat santai mengunyah sesuatu dalam mulutnya.
Dan ajaibnya, aku justru merasakan perasaan yang lebih dari Ramadhan sebelumnya. Dengan membiarkan orang lain yang tidak berpuasa melakukan kegiatannya tanpa terbebani. Dengan membiarkan waktu siang dengan warung disekeliling. Ada perasaan seolah jiwa menjadi lebih kuat. Lebih kuat dalam menahan, dan juga menghargai.
Aku jadi mengerti, ada kalanya, kami juga harus menghargai mereka yang tidak puasa. Bukan hanya selalu meminta untuk dihargai, sebelah pihak.
Setiap hari jumat, yang tak kalah mengherankan. Di bulan pertama setelah perpindahan. Aku berkhayal, kota yang sering macet ini mendadak sedikit lenggang saat Jumat siang. Bukankah itu terlihat luar biasa. Menikmati kelenggangan kota sibuk ini sejenak. Jalanan lebar yang akhirnya terasa lebarnya. Jalanan yang lebih tenang dari derum motor. Namun ternyata, itu hanya khayalanku saja. Realitanya, ibadah Jumat tak benar-benar bisa membuat kota ini sepi. Jalanan masih sama ramainya. Angkutan umum beroperasi seperti biasa. Manusia berlalu lalang tanpa rasa bersalah. Mitos keburukan perempuan yang diluar rumah saat jumat siang terpatahkan. Hal yang sedikit membuatku tersentak. Benar, ternyata jumlah penduduk yang melimpah ini tak bisa tiba-tiba menyusut hanya karna ibadah jumat.
Lagi-lagi….
Bukankah orang yang ingin mencari nafkah juga harus dihargai. Bukankah orang yang ingin beraktivitas juga perlu dihargai.
Kadang kita terlalu meninggi, merasa yang paling benar, merasa yang paling dekat dengan Tuhan. Selalu ingin dihargai. Tapi lupa menghargai. Bukankah ibadah itu banyak jenisnya. Bukankah setiap manusia berhak untuk memiliki caranya sendiri dalam melakukan kebaikan, hasil dari pemikiran otak kanannya.
Memang sulit dimengerti. Sebab mungkin, kita terlalu lama dalam kotak yang sama. Terhalang dinding yang tak terlihat, untuk memandang lebih jauh. Tapi sebenarnya, dunia lebih luas dari pemikiran kita. Dunia punya warna yang beragam. Membuat dunia terlihat lebih indah, dalam harmonisasinya.
Bukankah benar dan salah itu hanya sebatas kepercayaan yang kita yakini.