Perlahan, ombak terus menciumi pasir pantai.
Hembusan angin membelai lembut rambutku. Aku berjalan di tepi pantai, sendiri
di malam indah bertabur bintang. Purnama seakan menertawakan kesendirianku,
hingga ku tak sanggup menatap langit yang menganggapku remeh. Aku memang sendiri,
di luasnya lautan biru. Apa gunanya aku disini?, jika harus sendiri. Aku duduk
diatas hamparan pasir putih. Menikmati angin pantai yang semakin membuatku
membeku dalam kesendirian.
“Mengapa kau hanya menunduk nona manis? Lihatlah
ke langit yang indah itu, dan yakinkan pada mereka bahwa kau tak lagi sendiri” suara
lembut berbisik di telingaku. Aku menoleh, kulihat lelaki pemilik suara itu.
Kutatap wajahnya, ia hanya memberikan senyuman berlesung pipitnya yang manis.
Mencairkan lagi hatiku yang tadi beku.
“Kenapa kamu disini?” seolah aku tak percaya ia
akan datang di malam ini.
“Ai.. aku kesini untuk menemanimu, seperti malam
dan bulan. Ingat Ai, bulan tak akan ingkar ikrar pada malam”
“Iyah, aku mengerti. Terima kasih”
“Sama-sama. Kau begitu cantik Ai” ia menyentuh
lembut rambutku.
“Sudahlah, jangan terlalu memujiku”
“Aku tak memujimu Ai, ini kenyataan. Kamu memang
cantik, seindah bintang”
Aku hanya tersenyum malu mendengar kata-katanya. Wajah
putihku kini bersemu kemerahan.
“Lihatlah Ai! Lihat bintang itu” ia menunjuk pada
bintang yang bersinar paling terang.
“Bintang itu indah, sinarnya membuat orang berdesah
kagum. Bintang itu setia, bintang selalu setia menemani bulan meskipun dilangit
gelap, tapi bintang selalu setia. Bintang itu jujur, tak seperti bulan yang
hanya memantulkan cahaya matahari. Bintang punya cahayanya sendiri, meski kecil
tapi itulah cahayanya. Ai.. meskipun kau tak akan jadi bintang dilangit, tapi
aku ingin menjadikanmu bintang di hatiku. Agar dirimu dapat menerangi setiap
malamku yang gelap”
Hahhah.. aku tertawa dalam hati. Sungguh, aku tak
pernah mendengar kalimat seperti itu dapat mengalir lancar dari bibir seorang
lelaki. Rupanya ia sangat pandai membuat hatiku meledak. Dasar!, lelaki kejam!,
beraninya kau mencuri hatiku!.
“Sadarlah. Aku tak akan pernah bisa menjadi
bintang dihatimu. Aku tak akan dapat menyinarimu, aku tak punya cahaya seperti
bintang. Sadarlah! Kau itu hanyalah pangeran mimpiku”
Ia menarik nafas panjang. “Aku sadar aku hanyalah
pangeran dalam mimpimu. Tapi sungguh, ini bukan perasaan yang semu, ini nyata
Ai!. Apakah kita akan salahkan tuhan yang telah memberi anugrah berupa perasaan
cinta ini?. Tolonglah Ai, hargai perasaanku”
“Aku juga mencintaimu, aku hargai perasaanmu.
Tapi, aku masih ragu, maafkan aku”
Tetes demi tetes air turun membasahi pipiku.
Namun, ini bukanlah air mataku yang menetes, ini hujan!.
“Ai, hujan sudah mulai turun, lebih baik kita
pulang. Semoga saja tuhan masih menyisakan waktu untuk dapat kita ukir kembali
saat-saat indah ini”
“Baiklah. Aku akan selalu menunggumu disini,
pangeran mimpiku”
“Aku berjanji, suatu saat jika tuhan mengizinkan. Aku
akan kembali lagi kepadamu Ai. Namun, bukan sebagai pangeran dalam mimpimu. Aku
akan datang menjadi pangeran di kehidupan nyatamu”
“Selamat tinggal, tuan putri.. bangunlah! Dan
lihat matahari pagi yang sudah mengintip dibalik
bukit” kemudian ia menghilang, tanpa jejak.
Tiba-tiba, semuanya gelap. Seakan aku adalah
burung tak bersayap yang terbang di langit gelap. Tak ada bulan, tak ada
bintang. Mencari titik-titik cahaya yang menghilang begitu saja. Kring...
kring... kring... suara keras itu membuat telingku sedikit sakit, semakin lama
suaranya semakin keras. Memaksaku untuk membuka mata.
Ternyata hanya mimpi. Andai saja itu kenyataan.
Andai saja pangeran itu adalah Fidel.
“Aiko.. matikan jam bekermu! Suaranya membuat gigi
ibu semakin sakit” teriak seseorang dari luar kamar. Aku segera mematikan jam
itu.
“Tenanglah, sudah aku matikan”
Ahh.. sudahlah, lupakan saja, aku tak ingin
terlalu berharap. Aku mau mandi saja, dari pada mikirin mimpi itu. Gak
penting!.
25 menit kemudian aku keluar dari kamar mandi.
Segarnya.. Aku berdiri didepan cermin. Kuoleskan lotion ke seluruh tubuhku.
Kemudian kusisir rambut hitamku yang lurus panjang. Selanjutnya, kupakai
seragamku. Kemeja putih berpita besar dibagian kerahnya. Dengan bawahan rok Biru
bermotif kotak-kotak yang panjangnya tak
sampai selutut. Kupandangi lagi diriku. Hm.. kurasa sempurna!.
Kring.. kring.. suara itu lagi!. Oh, bukan, pasti
ini bukan suara jam bekerku kan?. Beberapa detik aku berpikir. Kurasa aku
sedikit telmi akibat mimpi semalam. Yah.. aku tahu!, itu kan suara sepeda Fidel!.
Aku tersentak dibuatnya. Kuambil tasku dimeja dan segera berlari keluar. Aku berjalan
tak karuan, terjatuh-jatuh, seperti ayam yang baru saja menetas.
“Dipanggil-panggil, gak keluar-keluar” omelnya
ketika aku masih sibuk memasang sepatu hitamku.
“Sorry.. habis kukira kamu tukang roti”
“Udah, jangan alasan ajah. Ayo naik!” aku segera
naik ditempat duduk belakang sepedanya.
Embun belum mencair sempurna, masih tersisa bekasnya
di ujung rerumputan. Sepeda biru itu terus melaju diantara jalan-jalan kecil di
Bukit Dee. Tercium segarnya udara Bukit Dee yang masih murni. Disini, masih
langka terdengar suara deru mesin. Yang ada hanyalah suara riang anak-anak yang
mengejar layang-layang.
Terlihat dari kejauhan megahnya bangunan itu.
Bangunan yang disebut-sebut sebagai sekolah favorit di Bukit Dee. Yang hanya
dapat dimasuki melalui persaingan tes yang sangat ketat. Aku masih tak percaya
ketika pengumuman 2 tahun yang lalu tertempel di papan pengumuman. Aku pikir,
tak akan ada namaku disana. Ternyata, aku termasuk 45 anak yang beruntung dari
ratusan pendaftar kala itu, termasuk Fidel.
Fidel memarkirkan sepeda birunya di barisan paling
depan. Parkiran sepeda ini masih sepi, belum banyak anak yang datang.
“Del, aku mau kekantin dulu ya.. laper. Mau ikut?”
begitu kataku setelah turun dari dudukan belakang sepedanya.
“Enggak Ai, makasih. Aku ke kelas duluan kalo
gitu”
Dari belakang aku terus memperhatikannya. Sampai
ia akhirnya menghilang di ruangan kelas, aku pun berjalan menuju kantin. Disana
aku memesan 2 batang coklat dan segelas milkshake blueberry. Setelah menunggu
beberapa menit, akhirnya segelas air biru dengan warna putih itupun datang
kepadaku. Tak lupa dengan 2 coklat batang yang kupesan. Aku mengucapkan
terimakasih dan menyedot isinya.
Kemudian, aku mulai tenggelam, terbawa dalam arus
lamunanku.
Entah mengapa aku dapat jatuh pada fidel.
Bagaimana mungkin aku dapat mencintai sahabatku sendiri. Ini sangat sulit untuk
dapat kujelaskan. Aku tak tahu bagaimana semuanya berawal. Yang aku tahu
hanyalah getaran cinta yang sekarang bergetar setiap kali aku dekat dengannya. Namun,
ini bukanlah perasaan yang dulu ada sewaktu kami kecil.
Aku ingat ketika aku dan Fidel masih berada di
taman kanak-kanak. Saat itu kami sedang bermain di taman. Kemudian Fidel
memberikanku sebuah mahkota dari rangkaian bunga. Tangan kecilnya memang begitu
terampil merangkai bunga-bunga tersebut. Begitu indah mahkota itu ketika berada
diatas kepalaku.
“Ibu.. lihatlah Aiko! Ia begitu cantik dengan
mahkota yang aku buat”
“Iya, Aiko tampak begitu cantik, seperti puteri
raja” tante kella, tersenyum melihat kami yang bermain gembira.
“Karena Aiko adalah puteri maka aku adalah
pangerannya” Kemudian fidel mengajakku berputar-putar seperti sepasang pangeran
dan puteri yang sedang berdansa. tampak jelas wajah kepolosan kami saat itu.
Tapi sekarang, semuanya berbeda. Fidel, bukanlah
Fidel kecil yang dulu. Dan aku, Aiko, bukanlah Aiko kecil yang dulu.
Aku masih saja bertanya-tanya tentang persasaan
ini. Mungkin, karna aku terlalu dekat dengannya. Yah, ibu kami memang sudah
bersahabat sebelum mereka menikah. Dan akhirnya mereka menikah, hamil, dan
melahirkan kami dalam bulan bersamaan. Tante Kella, ibu fidel, melahirkannya
pada tanggal 10 januari melalui operasi caesar. Seminggu kemudian ibuku
menyusul dengan melahirkanku melalui persalinan normal. Inilah yang membuat
kami dekat sejak kecil. Kami semakin akrab sejak selalu berada di sekolah yang
sama, kelas yang sama, dan bahkan tempat duduk yang selalu berdekatan. Kami
sudah seperti keluarga, bagai ikatan saudara kembar yang tak dapat dipisahkan.
Bahkan, aku tak dapat menolak ketika ia menawari
untuk mengantarku setiap kali berangkat dan pulang sekolah. Jadi jika fidel
tidak masuk, kemungkinan besar aku juga tak akan masuk sekolah.
Perhatiannya tak pernah surut untukku. Sungguh aku
tak mengerti. Apakah mungkin dia juga mencintaiku? Atau kebaikannya itu hanya
karena aku adalah anak dari sahabat ibunya?. Aku bingung, aku masih bingung.
Teeett.. Suara bunyi bel membuyarkan lamunanku.
Semuanya sudah berhamburan masuk kelas.
Aku pun meninggalkankan kantin. Setelah sebelumnya
menaruh beberapa lembar uang di meja kasir.
Uuh.. waktunya pelajaran fisika yang menyebalkan..
Tok.. tok.. tok.. seseorang mengetuk jendela kelas
yang tepat di sebelah bangkuku. Siapa lagi kalau bukan Fidel.
“Enggak istirahat Ai?” tanyanya.
“Gak deh Del, aku mau belajar Ekonomi ajah, kan
habis ini ada ulangan”
“Oh, iya ya. Ya udah aku mau ke kantin dulu”
“Eh Del, aku pinjem catatanmu dong?”
“Ambil sendiri aja di tasku. Tapi kembaliin yah.. jangan
dimakan. Hehehhe..” godanya.
“Ya gak lah Del, emangnya aku serakus itu sampek
makan bukumu”
“hehhe..” ia tertawa, kemudian meninggalkanku.
Aku berjalan ke bangku dibelakangku. Merogoh isi tas
merah miliknya. Braak.. perempuan bertubuh gemuk itu menyenggolku.
“Maaf Aiko”
“Gak papa kok Lora” aku tersenyum, memastikan
keadaanku baik-baik saja walau sedikit sakit disenggol badan gemuknya.
Buku-bukunya berserakan dilantai. Kuambil dan
kutata lagi. Ketika aku tengah mengangkat buku-bukunya, terjatuh selembar
kertas. Kertas berwarna putih yang sudah kusam itu terlipat dengan rapi ada
sedikit sobekan di tepi kertasnya. Sepertinya aku kenal kertas tersebut. Aku membukanya.
Aku tahu, aku ingat, ini kan kertas perjanjian persahabatan yang kami buat sewaktu
kami duduk di kelas 3 sekolah dasar.
Semuanya berawal ketika Fidel memanggil-manggil
namaku. “Ai.. Ai.. sini Ai..” tapi aku tak mempedulikannya. Aku masih terlalu asyik
bermain lompat tali dengan teman-teman perempuanku.
Kemudian, Ben menyenggol Fidel. “Hey, kamu suka ya
sama Aiko?” Anak laki-laki itu memang jail. Banyak banget omongnya. Suka asal
ceplas-ceplos lagi. Makanya Fidel gak suka banget kalo diajak omong sama Ben.
“Enggak, Aiko itu temenku. Aku gak suka Aiko!”
jawab Fidel membentak.
“Tapi kenapa kamu panggil dia Ai?” Ben mulai cari
gara-gara.
“Trus kenapa?. Nama dia kan emang Ai, Aiko!”
“Namanya itu Aiko, bukan Ai”
“Namanya itu Aiko, tapi dipanggil Ai. Lagian apa
salahnya sih kalo aku panggil Ai”
“Ai itu panggilan sayang, Fidel!. Dodol banget sih
kamu ini. Kakakku ajah manggil Ai ke temen laki-lakinya. Soalnya kakakku sayang
sama laki-laki itu. Ai itu artinya Aiiang.. Ayang Aiko. Hahhahah...”
“Terserah akulah mau manggil apa. Yang penting aku
gak suka sama Aiko. Ngerti!” Fidel yang sudah biasa memanggilku Ai, sepertinya
tak dapat lagi merubah kebiasaannya itu.
Fidel yang masih kesal, langsung saja membuat kertas
berisi perjanjian. Dikertas itu ia menulisakan agar kita berjanji untuk tidak
saling mencintai. Aku yang hanya berpikiran pendek langsung saja menyetujui
janji yang ia buat itu. Aku kira aku tak akan dapat jatuh cinta padanya.
Ternyata aku salah, sekarang aku justru terperangkap dengan perasaanku sendiri.
Tanpa sadar, air mataku meleleh. Sungguh kejamnya
diriku, sungguh teganya aku, aku sudah mendustai persahabatan kita.
Maafkan aku Fidel..
Malam kembali hadir. Gelapnya menyelimuti seluruh
angkasa. Bulan terlihat remang-remang. Bintang tertutup mendung. Aku kembali di
pantai tanpa penghuni. Hanya aku seorang.
“Aku datang lagi pangeranku..” teriakku di laut
yang luas itu.
“PANGERANKU..” masih tak ada jawaban. Sepertinya
ia tak akan datang malam ini.
Aku masih duduk diatas pasir. Berharap ia akan
datang dan mengagetkanku dengan kata-katanya. Angin pantai begitu menusuk
tulang sum-sum. Deburan ombak di laut hening menghantam-hatam ke karang laut. Menyeret
sebuah botol ke bibir pantai. Kubuka botol tersebut, ada selembar kertas di
dalamnya. Sepertinya tuhan telah mengirimkan surat ini untukku.
Untuk, puteri manisku.
Ai, maafkan aku.
Hari ini aku tak dapat menemanimu.
Jangan bersedih
manis.. aku akan datang lagi esok. Aku berjanji, aku akan datang besok disaat
matahari tenggelam. Mungkin, aku akan menjemputmu dengan kereta kencana. Aku
ingin membawamu ke negeriku. Aku ingin kau tinggal bersamaku di istana yang
sudah kubuat untuk kita.
Sekarang,
bangunlah!, dan lihat matahari pagi yang sudah menyapamu dengan sinarnya. Jangan
menangis lagi ya manis.. percayalah! esok akan ada keajaiban yang tak kau
sangka-sangka.
Selamat pagi
puteriku..
Tertanda,
Pangeran
mimpimu,
Hhh.. hh.. hhh.. hh.. aku mengatur nafasku yang masih tak karuan.
Mataku terbelalak, kulihat sekelilingku. Ini kamarku!. Ya tuhan.. kenapa aku
bisa bermimpi itu lagi?. Apakah tadi malam aku tak membaca doa sebelum tidur?. Hmm..
mungkin aku lupa membacanya.
Hari memang cerah, lingkaran berwana kuning itu
bersinar terang. Di birunya langit terdapat gumpalan putih yang berusaha
melukiskan wajahmu. Ditambah hamparan rumput hijau dan wangi bebungaan yang
mekar. Menambah indahnya suasana Bukit Dee.
Namun, tetap saja aku akan bilang “awal pagi yang
mendung”. Sebab, walau diluar cerah, tapi disini mendung. Tak ada warna, hanya
kelabu. Awan mendung sudah menutupi hatiku. Dengan sambaran petir yang terus
meledak-ledak. Aku sayu, menatap langit dari jendela kelasku.
“Ai.. kamu sakit?”
“Hmm.. enggak kok Del, aku gak apa-apa”
“Kamu kok lesu banget sih? Ada apa?”
“Gak papa kok Del”
“Serius?”
“Iya, serius Del”
“Mau coklat?” fidel menyodorkan sebatang coklat
untukku.
“Makasih ya Fidel”
“Aku sering melihatmu membeli coklat batangan di
kantin. Jadi, aku membelikan satu untukmu” wow.. bahkan ia hafal apa yang
kubeli dikantin. Yah.. akhir-akhir ini aku memang lebih suka mengigiti coklat.
Aku membaca dari majalah bahwa coklat itu dapat merubah mood seseorang.
Aku berjalan keluar kelas, menggenggam kertas yang
terus membuatku merasa bersalah. Disana, ia sudah siap mengantarku ke rumah
dengan sepeda kesayangannya. Tapi.. kurasa aku sudah tak mau diantar dia lagi.
Aku tak ingin terlalu dekat dengannya, aku takut semakin mencintainya.
“Ai, ayo dong.. Lelet banget sih?”
“Kamu pulang sendiri saja, aku lagi pengen jalan
kaki” aku menunduk, menyembunyikan mukaku yang sudah merah terbakar.
Perih rasanya, ingin aku marah. Memarahi perasaanku
sendiri. Tuhan.. kenapa Kau tumbuhkan rasa ini diantara indahnya persahabatan
kita?. Tuhan.. sudah cukup ia menjadi sahabatku. Sungguh, aku sudah tak kuat
lagi untuk menahannya. Batinku tersiksa dengan rasa ini. Tuhan.. jika boleh aku
meminta. Aku ingin tidak mengenalnya sekalipun, dari pada aku harus terjebak
dengan rasa ini.
“Ai, kamu kenapa? Kamu ada masalah yah? Cerita
dong Ai..”
“Enggak del, aku gak apa-apa kok” jawabku seraya
berjalan menjauh darinya.
“Kamu marah ya Ai?” ia masih memaksaku untuk
berbicara.
“Enggak del” aku menggeleng.
“Terus kenapa?” Maaf del, maafkan aku. Aku sudah
mendustai persahabatan kita.
Aku tak mampu lagi menahan sesak di dadaku. Air
mata itu pun meleleh tanpa bisa kubendung. Setiap kuberusaha berlari pasti saja
ia akan mengikutiku.
“Sudah del, berhenti mengikutiku!. Menjauhlah
dariku!, aku tak mau melihatmu lagi!” teriakku, dengan nada sedikit kasar.
“Mengapa
kamu menangis? Apa salahku Ai?”
“Jangan urusi aku! Lebih baik kamu pulang saja”
“Kau mengusirku?” ia menundukkan kepala, merasa
bersalah.
“Iya, pulanglah saja!. Jangan pedulikan aku. Mulai
besok aku akan berangkat dan pulang sendiri” aku membalas perkataannya dengan
nada tinggi.
“Tapi ini sudah sore Ai, hari ini pulang saja
denganku”
Memang benar, cahaya kuning kejinggaan itu sudah mulai menyelimuti
sekeliling kami. Namun, aku tak peduli. Biarkan saja, aku tak takut gelap. Dan
aku akan buktikan bahwa aku tak butuh dia.
“Aku bilang, berhenti mengurusiku!. Pulang saja
tanpaku!”
Ia membuang begitu saja sepedanya. Ada genangan
air di matanya. Kurasa, ia juga mulai terbawa emosi “Tidak Aiko. Aku tidak akan
membiarkanmu pulang sendiri”
Badanku lemas, pikiranku menerawang ke langit.
Isakan tangisku semakin keras. Perasaan bersalah ini menjadi-jadi dalam hatiku.
Ia terlalu baik untuk kudustai. Teganya kukotori indahnya persahabatan ini. Aku
tak mampu lagi berkata, lidahku kaku. Ia menggenggam tanganku, sepasang bola
matanya yang kecoklatan melihatku tajam, membuatku semakin tak mampu.
“Ma-maafkan aku fidel, aku sudah mengotori
persahabatan kita” kataku, diselingi dengan isakan tangis dariku.
“Kamu gak salah kok Ai. Kamu gak perlu minta maaf”
“Enggak, aku tahu aku salah fidel. Aku memang
salah” ia hanya diam, dan kemudian ia merampas begitu saja kertas yang tadinya
kugenggam. Rupanya ia sudah tau aku menggenggamnya sejak tadi. Ia membuka, dan
membacanya sebentar.
“Ini janji persahabatan yang dulu pernah kita
buatkan?” Aku hanya mengangguk. Dimatanya terlihat jelas kebingungannya.
“Fidel, maafkan aku” “Aku jatuh cinta padamu”
kataku sambil menjauh darinya. kulepaskan jemarinya dari tanganku. Aku tak mau
mendengar jawaban darinya.
“Ai..” Ia menarik tangan ku, mencoba menghentikan
langkahku. Kubalikkan badanku, kulihat ia hanya mengerutkan kening. Matanya
seakan ingin berbicara, tapi tak bisa dikeluarkan. Apa dia marah? Atau bingung?
Kenapa dia?. Aku benar-benar tak mengerti. Mungkin, ia akan menamparku. Tampar
saja Fidel, aku rela kau tampar. Aku memang salah, aku tak dapat menjaga perasaanku
sendiri. Marahi saja aku!.
“Lihat ini Ai!” sungguh diluar pikiranku. Ternyata
ia malah menyobek kertas perjanjian itu. Menjadi sobekan-sobekan kecil, dan
kemudian ia membuangnya.
“Fidel.. kenapa kamu sobek?” aku bertanya
kebingungan.
“Tak akan ada lagi perjanjian itu, Ai” aku pun
terdiam, terpaku menatap sepasang bola matanya yang menatap tajam. Perlahan
hangat air mata ku sudah membasahi kemeja putihnya.
Matahari sudah separuh tenggelam. Semburat warna
merah menghiasi langit. Bulan bersiap untuk naik.
“Aku juga mencintaimu Ai..” ia membisikan kalimat
itu di telingaku.
Oh, tuhan.. inikah pangeran mimpiku itu?.
Pangeranku.. ternyata kau bukan hanya ada
dimimpiku. Benar!, kau datang di saat matahari tenggelam. Aku tak ragu lagi
pangeranku.. Aku mempercayaimu..
Pangeran senjaku.. bawalah aku ke negerimu..